Ruangangkasa.com – Perjalanan perkembangan pesawat ruang angkasa dari masa ke masa telah mengubah cara umat manusia memandang alam semesta. Pada 4 Oktober 1957, ketika Sputnik-1 meluncur ke langit sebagai pesawat ruang angkasa pertama buatan manusia yang mengorbit Bumi, tidak ada yang bisa membayangkan bahwa dalam waktu kurang dari 70 tahun kemudian, kita akan memiliki kemampuan mengirim robot canggih ke Mars dan merencanakan koloni manusia di sana. Menurut data dari NASA, diperlukan lebih dari 20 juta komponen yang bekerja sempurna agar misi Apollo 11 berhasil mendarat di Bulan pada 1969. Bandingkan dengan Perseverance Mars Rover yang diluncurkan pada 2020, yang memiliki kecerdasan buatan dan kemampuan untuk mengambil sampel secara mandiri. Apakah kamu pernah membayangkan betapa pesatnya kemajuan teknologi antariksa dalam waktu yang relatif singkat dalam skala sejarah manusia? Mari kita telusuri perjalanan luar biasa ini.
Era Awal: Sputnik dan Perintis Ruang Angkasa (1957-1961)

Sejarah modern eksplorasi luar angkasa dimulai dengan persaingan sengit antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dalam Perang Dingin. Peluncuran Sputnik-1 oleh Uni Soviet pada Oktober 1957 mengejutkan dunia dan memicu Space Race yang intens. Satelit sederhana berbentuk bola ini hanya berdiameter 58 cm dengan empat antena, namun dampaknya terhadap sejarah manusia tak terhingga.
Dr. Asif Siddiqi, profesor sejarah ruang angkasa di Fordham University, menjelaskan: “Sputnik bukan hanya tentang teknologi, tetapi juga tentang ideologi dan kekuatan. Keberhasilannya mengubah cara dunia melihat kemampuan sains dan teknologi Soviet.”
Hanya sebulan kemudian, Sputnik-2 diluncurkan dengan membawa Laika, anjing pertama di orbit. Meskipun Laika tidak bertahan lama, misinya membuka jalan bagi penerbangan manusia ke ruang angkasa. Amerika Serikat merespons dengan membentuk NASA pada 1958 dan meluncurkan Explorer 1, satelit pertama mereka.
Baca juga: 6 Wahana Luar Angkasa yang Memecahkan Rekor dalam Antariksa
Tonggak penting berikutnya adalah penerbangan Yuri Gagarin pada 12 April 1961 di Vostok 1, menjadikannya manusia pertama di luar angkasa. Penerbangan yang hanya berlangsung 108 menit ini mengubah selamanya hubungan manusia dengan ruang. Tidak lama kemudian, Alan Shepard menjadi orang Amerika pertama di ruang angkasa melalui misi Mercury-Redstone 3.
Program Mercury, Gemini, dan Voskhod (1961-1966)

Program Mercury NASA (1958-1963) dirancang untuk mengirim satu astronaut ke orbit Bumi. John Glenn menjadi orang Amerika pertama yang mengorbit Bumi pada Februari 1962 di pesawat Friendship 7. Program ini melibatkan serangkaian uji teknologi penting, termasuk sistem pendorong, komunikasi jarak jauh, dan prosedur pemulihan.
Data dari Museum Nasional Udara dan Ruang Angkasa AS mencatat bahwa kapsul Mercury memiliki volume interior hanya sekitar 1,7 meter kubik—ruang yang sangat sempit yang membuat astronaut nyaris tidak bisa bergerak. Bandingkan dengan modul Crew Dragon SpaceX modern yang memiliki volume hampir 10 meter kubik untuk kenyamanan astronaut.
Program Gemini (1964-1966) meningkatkan kompleksitas dengan mengirim dua astronaut sekaligus. Misi-misi ini mempraktikkan teknik penting seperti randevu dan penambatan di orbit, EVA (aktivitas luar wahana), dan misi durasi panjang hingga 14 hari—semua keterampilan esensial untuk perjalanan ke Bulan.
Sementara itu, Uni Soviet meluncurkan program Voskhod, dengan Voskhod 2 pada Maret 1965 menampilkan EVA pertama oleh Alexei Leonov. Selama 12 menit di luar angkasa, pakaian ruang angkasa Leonov mengembang begitu parah sehingga ia hampir tidak bisa masuk kembali ke kapsul—menunjukkan bahaya yang melekat pada teknologi antariksa awal.
Era Apollo dan Mendarat di Bulan (1967-1972)

Program Apollo NASA merupakan puncak dari usaha luar biasa untuk mewujudkan visi Presiden Kennedy mengirim manusia ke Bulan dan membawa mereka kembali dengan selamat. Apollo 11 mendarat di Bulan pada 20 Juli 1969, dengan Neil Armstrong mengucapkan kata-kata terkenal: “Satu langkah kecil bagi manusia, satu lompatan besar bagi umat manusia.”
Dr. Roger Launius, mantan sejarawan NASA, menyatakan dalam bukunya “Apollo’s Legacy” (2019): “Program Apollo menghabiskan sekitar $25,4 miliar pada masa itu, setara dengan lebih dari $150 miliar hari ini. Ini mewakili komitmen nasional yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap eksplorasi.”
Perangkat lunak navigasi Apollo, yang dikembangkan di bawah arahan Margaret Hamilton di MIT, adalah terobosan revolusioner. Dengan memori hanya 72 KB (ribuan kali lebih sedikit dari smartphone sederhana sekalipun), komputer Apollo memiliki kemampuan prioritas tugas yang memungkinkannya mengabaikan sinyal yang kurang penting saat mendarat—fitur yang menyelamatkan misi Apollo 11 dari pembatalan di menit-menit terakhir.
Total enam misi Apollo berhasil mendarat di Bulan, dengan yang terakhir, Apollo 17 pada Desember 1972, menandai kali terakhir manusia menginjakkan kaki di permukaan bulan. Astronaut Harrison Schmitt, sebagai satu-satunya ilmuwan profesional yang berjalan di Bulan, mengumpulkan lebih dari 110 kg sampel yang terus dipelajari hingga hari ini.
Era Stasiun Luar Angkasa: Salyut, Skylab, dan Mir (1971-2001)

Fokus beralih ke penempatan manusia jangka panjang di orbit Bumi dengan peluncuran stasiun luar angkasa pertama, Salyut 1 milik Soviet pada April 1971. Meskipun hanya ditempati selama 23 hari, stasiun ini membuktikan konsep tinggal dan bekerja di luar angkasa dalam waktu lama.
NASA merespons dengan Skylab (1973-1979), laboratorium luar angkasa yang dibangun dari tahap ketiga roket Saturn V yang dimodifikasi. Tiga kru menempatinya selama periode hingga 84 hari, melakukan eksperimen ilmiah dan observasi Matahari. Data dari Skylab memberikan pemahaman baru tentang efek gravitasi mikro pada tubuh manusia.
Insinyur luar angkasa Konstantin Feoktistov, yang membantu merancang pesawat ruang angkasa Soviet awal, menulis dalam memoarnya: “Kami menyadari bahwa evolusi pesawat ruang angkasa dalam sejarah harus mengarah pada rumah yang dapat dihuni di luar angkasa, bukan hanya kapsul eksplorasi.”
Stasiun luar angkasa Mir Soviet (1986-2001) menandai langkah besar dalam teknologi modular, memungkinkan perluasan berlanjut selama masa operasionalnya. Mir menampung lebih dari 100 kosmonaut dan astronaut dari 12 negara selama 15 tahun. Valeri Polyakov menetapkan rekor tinggal di luar angkasa selama 437 hari berturut-turut di Mir pada 1994-1995—sebuah pencapaian yang mendemonstrasikan ketahanan manusia untuk misi jarak jauh masa depan.
Era Space Shuttle dan Kolaborasi Internasional (1981-2011)

Peluncuran Columbia pada April 1981 memperkenalkan era baru pesawat ruang angkasa yang dapat digunakan kembali. Space Shuttle NASA didesain sebagai “truk angkasa” untuk mengirim muatan dan kru ke orbit rendah Bumi. Dengan sayap dan kemampuan kembali seperti pesawat, ini merupakan lompatan besar dari kapsul era sebelumnya.
Dr. Ellen Ochoa, mantan direktur Johnson Space Center dan astronaut veteran, menjelaskan: “Shuttle memungkinkan kita melakukan hal-hal yang tidak mungkin sebelumnya—mengorbitkan teleskop besar seperti Hubble, melakukan perbaikan di orbit, dan membangun stasiun luar angkasa modular.”
Program ini juga mendemokratisasi akses ke ruang angkasa dengan membawa spesialis muatan yang bukan pilot uji. Sally Ride menjadi wanita Amerika pertama di ruang angkasa pada 1983, sementara Guion Bluford menjadi astronaut Afrika-Amerika pertama. Pada 1985, Sultan bin Salman Al Saud dari Arab Saudi menjadi orang Arab dan Muslim pertama di luar angkasa.
Namun, program ini juga mengalami tragedi dengan kehilangan Challenger pada 1986 dan Columbia pada 2003, menewaskan total 14 astronaut. Insiden ini menggarisbawahi risiko inheren dalam eksplorasi luar angkasa dan menghasilkan perubahan signifikan dalam kultur keselamatan NASA.
Shuttle memainkan peran krusial dalam membangun Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS), proyek kolaboratif terbesar dalam sejarah ruang angkasa yang melibatkan 15 negara. Sebelum pensiun pada 2011, armada lima Shuttle (Columbia, Challenger, Discovery, Atlantis, dan Endeavour) melakukan 135 misi selama 30 tahun.
Stasiun Luar Angkasa Internasional: Laboratorium Mikrogravitasi Global (1998-sekarang)

ISS merepresentasikan pencapaian teknis dan diplomatik luar biasa, dengan konstruksi dimulai pada 1998 dan terus berlanjut selama lebih dari satu dekade. Dengan massa lebih dari 420 ton dan panjang hampir sepanjang lapangan sepak bola, ini adalah struktur buatan manusia terbesar yang pernah dibangun di luar angkasa.
Menurut data NASA, hingga 2023, lebih dari 260 individu dari 20 negara telah mengunjungi ISS. Stasiun ini telah dihuni terus-menerus sejak November 2000, menjadikannya platform terlama untuk kehadiran manusia berkelanjutan di luar angkasa.
Dr. Peggy Whitson, yang memegang rekor AS untuk waktu kumulatif terlama di luar angkasa (665 hari), menggambarkan kehidupan di ISS: “Perjalanan manusia dalam menjelajahi antariksa mengharuskan kita beradaptasi dengan lingkungan yang benar-benar asing. Di ISS, kamu melihat matahari terbit dan terbenam 16 kali sehari. Tubuh dan pikiranmu harus belajar cara baru untuk bekerja.”
ISS telah menjadi laboratorium unik untuk penelitian dalam mikrogravitasi, menghasilkan penemuan dalam bidang kesehatan manusia, biologi, ilmu material, dan fisika. Eksperimen seperti Alpha Magnetic Spectrometer mencari bukti materi gelap dan antimateri, sementara studi kesehatan astronaut memberikan wawasan tentang efek ruang angkasa pada tubuh manusia—pengetahuan penting untuk misi jarak jauh masa depan.
Era Komersial dan Privatisasi Ruang Angkasa (2006-sekarang)

Kemunculan perusahaan ruang angkasa swasta telah merevolusi lanskap teknologi antariksa. SpaceX, didirikan oleh Elon Musk pada 2002, mempelopori konsep roket yang dapat digunakan kembali dengan Falcon 9, yang berhasil mendarat dan diluncurkan kembali pada 2017—mengurangi biaya akses ke orbit secara dramatis.
Jim Bridenstine, mantan Administrator NASA, menyatakan pada 2020: “NASA telah mengubah model bisnis. Kami membeli layanan daripada perangkat keras, memungkinkan industri ruang angkasa AS berkembang sambil NASA fokus pada eksplorasi.”
Program Crew Commercial NASA telah bermitra dengan SpaceX dan Boeing untuk mengembangkan kapsul untuk mengirim astronaut ke ISS. SpaceX Crew Dragon berhasil melakukan penerbangan berawak pertama pada Mei 2020 dengan astronaut Bob Behnken dan Doug Hurley—mengembalikan kemampuan peluncuran manusia ke tanah Amerika untuk pertama kalinya sejak berakhirnya program Shuttle.
Blue Origin Jeff Bezos fokus pada pariwisata suborbital dan pengembangan New Glenn, roket berat untuk misi orbit. Virgin Galactic Richard Branson menawarkan pengalaman suborbital dengan pesawat mirip pesawat SpaceShipTwo. Pada Juli 2021, baik Branson maupun Bezos melakukan penerbangan suborbital di kendaraan perusahaan mereka sendiri, menandai era baru akses sipil ke ruang.
Perusahaan seperti Rocket Lab telah memasuki pasar peluncuran satelit kecil, sementara startup seperti Relativity Space mengadopsi manufaktur aditif (pencetakan 3D) untuk produksi roket. Inovasi teknologi spacecraft terbaru ini telah mempercepat perkembangan dan menurunkan biaya secara signifikan.
Eksplorasi Luar Angkasa Dalam dan Misi Mars (2003-sekarang)

Sementara manusia telah terbatas pada orbit rendah Bumi selama beberapa dekade, robotika telah memperluas jangkauan kita ke seluruh tata surya. Program Mars Exploration Rover NASA mengirim Spirit dan Opportunity ke Mars pada 2003, dengan Opportunity beroperasi selama luar biasa 14 tahun hingga 2018.
Insinyur pesawat ruang angkasa Dr. Anita Sengupta, yang membantu mengembangkan sistem pendaratan Curiosity Mars Rover, menjelaskan: “Pendaratan di Mars adalah salah satu tantangan teknis paling sulit dalam sejarah astronomi. Kami harus merancang sistem yang dapat mengurangi kecepatan dari 20.000 km/jam menjadi nol dalam waktu tujuh menit tanpa intervensi manusia.”
Misi Curiosity (2012) dan Perseverance (2021) mewakili generasi rover Mars yang lebih canggih, dengan yang terakhir membawa Ingenuity, helikopter pertama yang terbang di planet lain. China’s Tianwen-1 dan UAE’s Hope juga bergabung dalam armada pesawat ruang angkasa yang mengorbit dan mempelajari Mars.
Di luar Mars, pesawat ruang angkasa Juno NASA mempelajari Jupiter, sementara Cassini-Huygens melakukan penelitian komprehensif terhadap Saturnus dan bulan-bulannya hingga 2017. New Horizons mengambil gambar pertama resolusi tinggi Pluto pada 2015, dan misi seperti OSIRIS-REx (NASA) dan Hayabusa2 (JAXA) mengumpulkan sampel dari asteroid untuk dibawa kembali ke Bumi.
Teleskop Luar Angkasa James Webb, diluncurkan pada Desember 2021, mewakili generasi baru instrumen astronomi luar angkasa. Dengan cermin utama berdiameter 6,5 meter (dibandingkan dengan 2,4 meter Hubble), Webb dapat melihat lebih jauh ke masa lalu alam semesta daripada instrumen sebelumnya, mempelajari atmosfer eksoplanet dan evolusi galaksi pertama.
Artemis dan Kembali ke Bulan (2022-2025)

Program Artemis NASA bertujuan mengembalikan manusia ke Bulan pada pertengahan 2020-an, kali ini untuk mendirikan kehadiran berkelanjutan. Artemis I, misi tanpa awak pertama menggunakan Space Launch System (SLS) dan pesawat ruang angkasa Orion, berhasil mengorbit Bulan pada November-Desember 2022.
Dr. Thomas Zurbuchen, mantan Associate Administrator untuk Direktorat Misi Sains NASA, menyatakan: “Artemis bukan hanya tentang kembali ke Bulan. Ini tentang memperluas kemampuan manusia secara berkelanjutan di luar orbit rendah Bumi dan mengembangkan teknologi yang akan membawa kita ke Mars.”
Program ini akan melihat wanita dan orang kulit berwarna pertama berjalan di Bulan, dan akan menguji teknologi untuk kehadiran jangka panjang termasuk habitat permukaan, sistem pencari kehidupan, dan penggunaan sumber daya in-situ untuk menghasilkan oksigen dari regolith bulan.
Baca juga: Misi Antariksa Ke Bulan
NASA berkolaborasi dengan mitra komersial termasuk SpaceX (untuk sistem pendaratan manusia) dan perusahaan dalam program Commercial Lunar Payload Services untuk mengirim muatan ke permukaan bulan. Misi Gateway akan menciptakan stasiun luar angkasa orbit bulan sebagai titik pijakan untuk eksplorasi permukaan dan misi jarak jauh.
Selain NASA, China telah menunjukkan minat serius dalam eksplorasi bulan dengan program Chang’e yang sukses, termasuk misi Chang’e 4 yang mendarat di sisi jauh Bulan pada 2019—pencapaian pertama dalam sejarah. Rusia, India, dan Uni Emirat Arab juga merencanakan misi bulan dalam dekade mendatang.
Masa Depan: Mars dan Seterusnya

Elon Musk telah secara terbuka menyatakan tujuan SpaceX untuk membangun koloni manusia berkelanjutan di Mars, dengan pengembangan roket Starship yang dirancang untuk kekuatan dan penggunaan kembali penuh. Dengan tinggi 120 meter saat ditumpuk dengan booster, ini akan menjadi kendaraan peluncuran terkuat yang pernah dibangun.
Dr. Robert Zubrin, pendiri Mars Society, berpendapat: “Teknologi yang kita kembangkan hari ini membuat misi berawak ke Mars bukan hanya mungkin, tetapi praktis dalam waktu dekat. Perkembangan pesawat ruang angkasa dari masa ke masa telah membawa kita ke titik di mana planet lain berada dalam jangkauan kita.”
NASA menargetkan misi berawak ke Mars pada 2030-an, sementara China, Eropa, dan lainnya juga mempertimbangkan rencana Mars jangka panjang. Tantangan terbesar termasuk bahaya radiasi selama perjalanan 6-9 bulan, desain dukungan kehidupan untuk misi beberapa tahun, dan pengembangan sistem propulsi yang lebih efisien.
Baca juga: Perseverance Upaya Manusia Dalam Mengeksplorasi Planet Mars
Sistem propulsi eksperimental seperti pendorong ion, pendorong nuklir termal, dan bahkan layar surya sedang dieksplorasi untuk perjalanan antarplanet yang lebih cepat. Kemajuan dalam kecerdasan buatan dan robotika juga menjanjikan tingkat otonomi yang lebih besar untuk misi masa depan, mengurangi ketergantungan pada komunikasi Bumi yang tertunda.
Visi jangka panjang meluas ke pemanfaatan sumber daya asteroid, koloni di Bulan dan Mars, dan bahkan misi ke bulan-bulan es Jupiter dan Saturnus seperti Europa dan Enceladus, di mana ada potensi untuk menemukan kehidupan mikrobial di bawah lautan cair bawah permukaan mereka.
Ketika kamu memandang langit malam dan melihat titik-titik cahaya yang berkedip, pertimbangkan bagaimana perjalanan manusia dalam menjelajahi antariksa telah berevolusi dari mimpi sederhana terbang ke langit menjadi realitas mengirim robot canggih ke planet lain. Dari Sputnik hingga Perseverance, dari Yuri Gagarin hingga pesawat ruang angkasa Starship yang sedang dikembangkan—setiap langkah telah membangun pondasi untuk langkah berikutnya. Sejarah pesawat ruang angkasa bukan hanya tentang mesin dan teknologi, tetapi tentang semangat eksplorasi manusia yang tak kenal lelah yang mendorong kita untuk melampaui batas-batas dan menjelajahi alam semesta di sekitar kita. Seperti yang dikatakan Carl Sagan, “Alam semesta begitu luas dan kita begitu kecil. Namun, kita adalah bagian dari alam semesta yang telah menjadi sadar dan mampu merenungkan keajaiban keberadaannya sendiri.” Inilah warisan sejati dari evolusi pesawat ruang angkasa dalam sejarah—kemampuan untuk melihat diri kita dan tempat kita dalam kosmos dari perspektif baru.






Daftar Newsletter Kami
Dapatkan update artikel terbaru langsung di email Anda.