Ruangangkasa.com – Malam yang kelam di Padang Pasir Atacama, Chile, teleskop raksasa dengan cermin berdiameter 8,2 meter perlahan berputar mengarah ke titik samar di langit. Sepersekian detik kemudian, cahaya dari galaksi yang berjarak 13,4 miliar tahun cahaya tertangkap—cahaya yang telah melakukan perjalanan sejak masa awal alam semesta. Evolusi teleskop sejak 400 tahun lalu telah mengubah kita dari makhluk yang terkungkung di planet kecil menjadi penjelajah kosmos. Bagaimana teleskop mengubah pemahaman astronomi kita? Dari tabung sederhana milik Galileo hingga observatorium luar angkasa seperti James Webb, perjalanan teknologi ini telah merevolusi pengetahuan manusia—memungkinkan kamu melihat masa lalu alam semesta, memetakan galaksi-galaksi distant, dan bahkan menemukan planet-planet di luar tata surya kita.
Cikal Bakal Revolusi: Era Galileo

Tahun 1609 menandai titik balik dalam sejarah ilmu pengetahuan ketika seorang matematikawan Italia bernama Galileo Galilei mengarahkan teleskop Galileo buatannya—yang hanya memiliki pembesaran 30 kali—ke langit malam. Dr. Albert Van Helden, sejarawan astronomi dari Rice University, dalam bukunya “The Invention of the Telescope” (2008) menjelaskan bahwa meskipun Galileo bukanlah penemu teleskop (Hans Lippershey dari Belanda mengajukan paten untuk perangkat serupa pada 1608), dialah yang pertama kali menggunakannya untuk pengamatan astronomi sistematis.
Apa yang Galileo lihat mengubah dunia selamanya. Dia menemukan bahwa Bulan memiliki kawah dan pegunungan—bukan permukaan sempurna seperti yang diajarkan filsafat Aristotelian. Dia mengamati bahwa Venus memiliki fase seperti Bulan, pembuktian kuat bahwa planet-planet mengelilingi Matahari, bukan Bumi. Dan yang paling mengguncang: dia menemukan empat bulan mengelilingi Jupiter, membuktikan bahwa tidak semua benda langit berputar mengelilingi Bumi.
“Teleskop Galileo hanya memiliki dua lensa dengan diameter beberapa sentimeter,” jelas Dr. Massimo Tarenghi dari European Southern Observatory dalam wawancara tahun 2015, “tapi cukup untuk meruntuhkan model kosmologi yang telah dipegang selama lebih dari 1.500 tahun.”
Baca juga artikel menarik lainnya: Mengungkap Misteri Alam Semesta: Peran Teleskop Luar Angkasa Hubble
Evolusi Desain: Mengatasi Keterbatasan Optik

Teleskop Galileo menggunakan sistem refraksi—cahaya melewati lensa. Tapi desain ini memiliki masalah serius: aberasi kromatik—pembiasan warna yang berbeda pada titik fokus berbeda, menghasilkan bayangan berwarna-warni di tepi objek. Masalah ini mendorong Isaac Newton pada 1668 untuk menciptakan teleskop reflector pertama, menggunakan cermin cekung untuk mengumpulkan cahaya.
“Lompatan teknologi teleskop selalu terjadi ketika para ilmuwan mampu mengatasi hambatan fisik fundamental,” kata Dr. Marcia Rieke dari University of Arizona, salah satu perancang utama James Webb Space Telescope, dalam sebuah konferensi tahun 2020.
Tahun 1733, Chester Moore Hall menemukan lensa akromatik, dan pada 1758, John Dollond mematenkannya. Teknologi ini menggabungkan dua jenis kaca berbeda untuk meminimalkan aberasi kromatik. Beberapa dekade kemudian, William Herschel—yang terkenal karena penemuannya akan planet Uranus pada 1781—membangun teleskop reflector raksasa dengan cermin berdiameter 1,2 meter.
Tahun 1840-an menyaksikan terobosan besar dengan reflector Leviathan of Parsonstown buatan Earl of Rosse di Irlandia—teleskop dengan cermin 1,8 meter yang mampu mengidentifikasi struktur spiral pada nebula, yang kemudian diketahui sebagai galaksi terpisah dari Milky Way.
Era Modern: Teleskop Raksasa Darat

Abad ke-20 membawa revolusi dalam ukuran dan kemampuan teleskop. Teleskop Hooker di Observatorium Mount Wilson (1917) dengan cermin 2,5 meter memungkinkan Edwin Hubble membuktikan bahwa alam semesta dipenuhi galaksi-galaksi di luar Milky Way dan bahwa alam semesta mengembang.
“Setiap kali kita menggandakan diameter cermin teleskop, kita mengumpulkan empat kali lebih banyak cahaya dan melihat objek yang dua kali lebih jauh,” jelas Dr. Jerry Nelson, perancang utama Teleskop Keck, dalam sebuah wawancara tahun 2008 dengan Science Magazine.
Tahun 1990-an dan 2000-an menyaksikan pembangunan teleskop raksasa seperti Keck Telescopes (cermin 10 meter) di Hawaii dan Very Large Telescope (empat teleskop 8,2 meter) di Chile. Inovasi penting lainnya adalah optik adaptif—teknologi yang menggunakan cermin yang dapat berubah bentuk untuk mengkompensasi distorsi atmosfer.
“Optik adaptif memungkinkan teleskop darat menghasilkan gambar yang hampir setajam teleskop luar angkasa dalam panjang gelombang tertentu,” kata Dr. Claire Max dari University of California, yang memenangkan Dannie Heineman Prize for Astrophysics tahun 2004 atas karyanya dalam bidang ini.
Revolusi Antariksa: Melampaui Atmosfer Bumi

Meskipun teleskop darat semakin canggih, atmosfer Bumi tetap menjadi penghalang. Molekul udara menyerap sebagian besar radiasi ultraviolet, inframerah, dan sinar-X—jendela penting untuk memahami alam semesta.
Perbandingan teleskop Hubble dan James Webb menunjukkan bagaimana teknologi antariksa telah berkembang pesat. Diluncurkan pada 1990, Hubble Space Telescope (HST) dengan cermin 2,4 meter telah menghasilkan beberapa gambar paling ikonik dan penemuan paling penting dalam sejarah astronomi. Deep Field Image Hubble pada 1995 mengungkapkan ribuan galaksi di ruang yang tampak kosong, mendorong pemahaman baru tentang skala alam semesta.
“Hubble mengubah cara kita memahami sejarah alam semesta,” kata Dr. Robert Williams, mantan direktur Space Telescope Science Institute, yang mengambil keputusan berani untuk mengarahkan teleskop ke titik gelap di langit selama 10 hari untuk menghasilkan Deep Field pertama. “Gambar itu membuat kita terpana. Pada area langit sebesar butir pasir yang dipegang dengan tangan terentang, kita melihat ribuan galaksi.”
Namun, HST terutama mengamati cahaya tampak dan ultraviolet. Untuk melihat lebih jauh ke masa lalu alam semesta, para astronom membutuhkan teleskop inframerah yang lebih besar.
Baca juga artikel menarik lainnya: Memilih Teleskop Bintang dan Rekomendasi Teleskop Terbaik untuk Pemula
James Webb: Mata Baru ke Masa Lalu

Teleskop James Webb (JWST), diluncurkan pada 25 Desember 2021, mewakili lompatan generasional dalam teknologi teleskop antariksa. Dengan cermin berdiameter 6,5 meter yang terdiri dari 18 segmen berongga heksagonal, JWST dirancang untuk menangkap cahaya inframerah dari objek-objek paling jauh dan paling awal di alam semesta.
“Perbedaan antara Hubble dan Webb seperti perbedaan antara melihat kota pada malam hari dari pesawat di ketinggian 10.000 kaki, dan turun ke jalan dan melihat ke dalam jendela setiap rumah,” jelas Dr. John Mather, penerima Nobel Fisika dan ilmuwan senior proyek untuk JWST.
JWST memiliki beberapa keunggulan revolusioner. Cerminnya enam kali lebih besar dari Hubble, memungkinkannya mengumpulkan jauh lebih banyak cahaya. Beroperasi 1,5 juta kilometer dari Bumi di titik L2 Lagrange, JWST berada di lingkungan yang stabil dan dingin. Perisai matahari lima lapisannya mendinginkan instrumen hingga -233°C, sangat penting untuk mendeteksi sinyal inframerah lemah dari galaksi dan planet yang jauh.
Pada Juli 2022, JWST merilis gambar-gambar pertamanya, menunjukkan detail mengagumkan dari nebula, galaksi berinteraksi, dan gugus galaksi yang belum pernah terlihat sebelumnya. “First Deep Field” JWST mengungkapkan galaksi-galaksi yang cahayanya telah melakukan perjalanan selama 13 miliar tahun, membawa kita mendekati Big Bang dibandingkan yang pernah kita capai sebelumnya.
“Dengan Webb, kita bisa melihat bintang-bintang pertama yang menyala setelah Big Bang, mempelajari bagaimana galaksi terbentuk dan berevolusi, dan bahkan menganalisis atmosfer planet-planet di luar tata surya kita untuk mencari tanda-tanda kehidupan,” kata Dr. Amber Straughn, Deputi Ilmuwan Proyek untuk Komunikasi Webb, dalam presentasinya tahun 2023.
Penemuan Bersejarah: Membuka Tabir Alam Semesta

Perkembangan teknologi teleskop antariksa telah mengubah pemahaman kita tentang alam semesta secara fundamental. Dari teleskop sederhana Galileo hingga observatorium antariksa seperti James Webb, setiap generasi instrumen telah membawa penemuan yang mengejutkan.
Tahun 1995, teleskop 4,2 meter William Herschel di Kepulauan Canary membantu mengonfirmasi planet pertama yang mengorbit bintang seperti matahari. Saat ini, melalui teleskop seperti TESS (Transiting Exoplanet Survey Satellite) yang diluncurkan NASA pada 2018, kita telah menemukan lebih dari 5.000 exoplanet.
“Bayangkan apa yang akan dipikirkan Galileo jika dia tahu bahwa 400 tahun kemudian, kita akan mendeteksi planet-planet mengorbit bintang lain dan bahkan menganalisis komposisi atmosfer mereka,” kata Dr. Sara Seager dari MIT, pionir dalam pencarian exoplanet.
Teleskop juga mengungkap misteri energi dan materi gelap. Pada tahun 1998, observasi supernova menggunakan Teleskop Keck dan Hubble menunjukkan bahwa ekspansi alam semesta semakin cepat—penemuan yang mengejutkan yang mengarah pada konsep energi gelap dan yang memenangkan Nobel Fisika 2011.
“Teleskop modern telah mengungkapkan bahwa kita hanya memahami sekitar 5% dari isi alam semesta,” kata Dr. Brian Schmidt, salah satu penerima Nobel untuk penemuan akselerasi kosmik, dalam ceramahnya tahun 2019. “Sisanya terdiri dari materi gelap dan energi gelap yang sifatnya masih menjadi misteri terbesar dalam fisika.”
Masa Depan: Generasi Berikutnya

Masa depan eksplorasi antariksa dengan teleskop terlihat cerah dengan beberapa proyek ambisius yang sedang dikembangkan. Extremely Large Telescope (ELT) European Southern Observatory, yang saat ini sedang dibangun di Chile, akan memiliki cermin utama berdiameter 39 meter—lebih dari empat kali diameter teleskop terbesar saat ini.
“ELT akan memiliki kemampuan untuk mendeteksi atmosfer planet seukuran Bumi di bintang-bintang terdekat dan mencari tanda-tanda kehidupan,” kata Dr. Xavier Barcons, Direktur Jenderal ESO, dalam konferensi pers tahun 2023. “Ini seperti melompat dari teleskop Galileo langsung ke Hubble dalam satu langkah.”
Di ruang angkasa, NASA sedang mengembangkan Nancy Grace Roman Space Telescope dengan jangkauan medan pandang 100 kali lebih luas dari Hubble, memungkinkannya melakukan survei yang sangat luas. Teleskop ATHENA (Advanced Telescope for High-ENergy Astrophysics) Eropa akan membuka jendela baru ke alam semesta sinar-X berenergi tinggi.
Teleskop interferometri seperti Event Horizon Telescope—jaringan global teleskop radio yang beroperasi sebagai satu instrumen—telah berhasil menghasilkan gambar lubang hitam pertama pada 2019. Teknologi ini akan terus dikembangkan, potensial mencapai resolusi yang cukup untuk melihat fitur-fitur pada permukaan exoplanet.
“Kemajuan dalam komputasi kuantum dan kecerdasan buatan akan merevolusi cara kita menganalisis data dari teleskop-teleskop ini,” prediksi Dr. Dava Sobel, penulis buku laris “Galileo’s Daughter”, dalam wawancara tahun 2024. “Dalam 20 tahun ke depan, AI mungkin akan menemukan pola-pola dalam data astronomi yang bahkan tidak terpikirkan oleh ilmuwan manusia.”
Baca juga artikel menarik lainnya: 5 Tips Memilih Teleskop Bintang untuk Pemula
Ketika Masa Lalu Bertemu Masa Depan

Dari tabung kayu sederhana yang dipegang Galileo hingga observatorium luar angkasa seberat 6.500 kg, perjalanan sejarah astronomi kita merupakan kesaksian akan keingintahuan dan ketekunan manusia. Setiap generasi teleskop telah menghadirkan penemuan yang mengejutkan yang mengubah pemahaman kita tentang tempat kita di alam semesta.
Saat kamu mendongak ke langit malam dan melihat bintang-bintang berkedip, ingatlah bahwa pemandangan yang sama itu menginspirasi Galileo empat abad lalu. Bedanya, kini kita tahu bahwa titik-titik cahaya itu adalah matahari-matahari jauh dengan planet-planet mereka sendiri, berada dalam galaksi-galaksi yang melayang di ruang-waktu yang melengkung, dalam alam semesta yang jauh lebih aneh dan indah daripada yang pernah kita bayangkan.
Dan sementara James Webb mengungkap rahasia-rahasia dari masa lalu kosmik kita, teleskop-teleskop di masa depan akan menjawab pertanyaan yang bahkan belum kita ajukan. Mungkin suatu hari nanti, teleskop-teleskop tersebut akan mendeteksi tanda-tanda kehidupan di luar Bumi, dan ketika hari itu tiba, kita akan berutang budi pada setiap inovator teleskop yang telah membawa kita ke sana—dari Galileo yang membuat sketsa kawah Bulan dengan tangannya sendiri, hingga tim insinyur internasional yang melipat cermin James Webb seperti origami rumit untuk perjalanan luar angkasanya.
Daftar Newsletter Kami
Dapatkan update artikel terbaru langsung di email Anda.