RUANGANGKASA.COM – Indonesia menjadi negera kedua di Asia yang mampu mengembangkan teknologi roket setelah Jepang. Roket pertama yang dikembangkan Indonesia itu bahkan sudah pernah melakukan uji coba peluncuran. Bagaimana sejarahnya, berikut penjelasannya:
Terima kasih telah membaca artikel ini, jangan lupa untuk berlangganan artikel!
24 Agustus 1963, pagi itu di pantai selatan Yogyakarta suasana begitu ramai, banyak masyarakat memadati area sekitaran pantai. Mereka semua, berkumpul kala itu sedang bersiap untuk menjadi saksi peluncuran roket pertama Indonesia.
Dengan tinggi 900 mm dengan diameter 76 mm, roket pertama tersebut dinamai sebagai Gama-1, merupakan rancangan para mahasiswa teknik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) yang tergabung dalam Persatuan Roket Mahasiswa Indonesia (PRMI). Memang, ukuran roket ini tidak besar, namun inilah cikal bakal bagaimana Indonesia mampu menguasai teknologi roket. Di hari peluncuran itu, roket meluncur mulus ke angkasa. Semua orang saat itu tampak bangga dan takjub melihat kemampuan Indonesia dalam hal pengembangan hingga peluncuran roket.
Berita peluncuran itu sampai ke telinga Presiden Sukarno. Melalui Harian Nasional tanggal 2 Oktober 1963, Sukarno menyampaikan ucapan selamat. Departemen Riset Nasional bahkan mengucurkan bantuan untuk mendanai aktivitas PRMI dalam merancang roket-roket selanjutnya.
Keberhasilan peluncuran roket Gama-1 oleh UGM, membuat Institut Teknologi Bandung (ITB) juga ikut membangun roket sendiri. Tepat pada 6 Januari 1964, dua roket ITB, yang bernama Ganesha X-1A dan Ganesha X-1B, diluncurkan di Pantai Pameungpeuk, Garut. Tidak sampai di situ saja. Melihat ITB yang mengembangkan roket dan berhasil melakukan peluncuran, PRMI juga kembali meluncurkan dua roket sekaligus, yakni Gama-2 dan Gama-3, yang masing-masing meluncur mulus ke luar angkasa pada 1 Maret dan Agustus 1964.
Sebelumnya, pada tahun 1957-1958 yang dikenal sebagai Tahun Geofisika Internasioanl. Indonesia sendiri tidak memberikan sumbangsih sama sekali, hingga dimasukan ke dalam kategori black area, ungkap Raden Jacob Salatun, tokoh perintis peroketan nasional, dalam buku Lahirnya Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.
Kejadian tersebut itu menjadi bahan pembelajaran, kemudian dibentuklah Panitia Astronautika oleh Dewan Penerbangan pada tanggal 31 Mei 1962, untuk menangani masalah-masalah keantariksaan di Indonesia. Dewan Penerbangan sendiri dibentuk tahun 1955 untuk mengkoordinasi penerbangan sipil dan militer sebelum diubah menjadi Dewan Penerbangan dan Angkasa Luar Nasional Republik Indonesia (Depanri) pada tahun 1963 dengan cakupan kerja lebih luas. Menteri Pertama Ir Djuanda jadi ketuanya, sedangkan Kolonel Udara Raden Jacob Salatun sebagai sekretaris.
Panitia Astronautika kemudian mencari informasi mengenai peroketan di negara-negara lain. Keberhasilan Jepang memproduksi roket Kappa, dianggap salah satu yang paling maju di dunia, menarik perhatian. Panitia Astronautika mengusulkan kepada Dewan Penerbangan agar mengimpor roket Kappa untuk Roket Ionosfer/Angkasa Luar (Proyek S). Dewan Penerbangan setuju. Namun karena kondisi keuangan negara tidak memungkinkan. Proyek S pun ditangguhkan.
Baca juga: Kisah Wahana Antariksa Pertama Kali Capai Orbit Bulan
Jacob Salatun yang juga penasehat ilmiah Menteri/Panglima Angkatan Udara (Pangau) Omar Dhani menyarankan agar AURI memulai program pengembangan roket secara swasembada. Usulan ini mendapat lampu hijau. Terlebih AURI sedang membangun kerjasama dengan ITB dalam proyek pengembangan roket.
Presiden Sukarno menyetujuinya. Pelaksanaan proyek ini, dan juga Proyek S, diserahkan kepada Menteri/Panglima Angkatan Udara karena dinilai punya kesatuan-kesatuan yang berpengalaman dalam penelitian, pengembangan, dan pembuatan roket. Bahkan kala itu AURI sedang mendirikan pabrik roket “Menang” di Tasikmalaya, Jawa barat.
Proyek PRIMA
Setelah mendapatkan mandat dari presiden, Oemar Dhani kemudian mengeluarkan keputusan No 70/1963 tentang pembentukan proyek Pengembangan Roket Ilmiah Militer Awal (PRIMA). Proyek ini, dimulai pada 1 September 1963, diketuai Laksamana Muda Budiardjo, deputi Menteri/Pangau urusan Logsitik, dengan wakil Jacob Salatun. Karena ini adalah proyek AURI, pendanaan berasal dari swasembada AURI.
Salah satu tujuan proyek PRIMA adalah mengikutsertakan Indonesia dalam pelaksanaan International Quiet Sun Years (IQSY) 1964-1965. Serupa dengan IGY, IQSY dihelat untuk mendorong negara-negara di seluruh dunia meluncurkan roket-roket ionosfer atau angkasa luar demi tujuan sains dan perdamaian.
Proyek PRIMA dijalankan tim gabungan ITB, AURI, dan Pusat Industri Angkatan Darat (Pindad). Setelah tujuh bulan bekerja, dengan alat dan bahan dari dalam negeri, tim menghasilkan roket berdiameter 250 mm dan berbobot 220 kg, yang dilengkapi instrumen-instrumen ilmiah seperti pemancar sinyal. Presiden Sukarno memberikan nama: Kartika-1.
Peluncuran Kartika-1 dilakukan di Pantai Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat pada 14 Agustus 1964. Roket pun meluncur mulus dengan ketinggian 60 km. Menurut Sumantri, dalam artikel “Rekam Jejak ‘Kartika-1’”, dimuat majalah Arsip Edisi 62 2013, jika dibandingkan negara-negara Asia lainnya yang melakukan program IQSY, pencapaian Indonesia begitu membanggakan. Pakistan meluncurkan roket Rehbar, yang merupakan roket Nike Cajun buatan AS. Yugoslavia meluncurkan roket Kappa-6 buatan Jepang.
Baca juga: Hewan yang Keluar Angkasa
“Di negara-negara Asia, pada saat itu belum ada yang dapat meluncurkan roket-roket atmosfir buatan sendiri. Dengan demikian Indonesia telah menjadi negara kedua setelah Jepang yang dapat membuat roket-roket atmosfir atasnya,” tulis Sumantri.
Harian Sinar Harapan juga ikut menulis keberhasilan peluncuran Kartika-1 meninggikan gengsi Indonesia sebagai pelopor dan mercusuar dari tenaga-tenaga yang menghendaki dunia baru atau New Emerging Forces (Nefos). “Di dalam kalangan COSPAR (Committee on Space Research – Panitia Angkasa Luar PBB), Indonesia meningkat ke dalam kategori Rocket Launching Nations,” tulis Sinar Harapan, 18 Agustus 1964.
Roket Kartika-1 dilengkapi sistem telemetri yang bisa menerima sinyal satelit. Sistem ini dikembangkan Laboratorium Elektronika ITB bersama Depot Elektronika AURI. Ketika dilakukan percobaan, alat telemetri ini berhasil menangkap dan merekam sinyal dari satelit cuaca “Tiros” milik AS.
Untuk menyambut keberhasilan ini, replika roket Kartika-1 dipamerkan dalam parade perayaan hari ABRI 5 Oktober 1964. Tak lama, roket Kartika-1 yang kedua diluncurkan pada November 1964.
Proyek S
Ketika proyek PRIMA sedang berjalan dan belum menunjukkan kemajuan berarti, Panitia Astronautika khawatir tak bisa memenuhi tenggat waktu IQSY 1964-1965. Usulan untuk mengimpor roket Kappa muncul kembali ke permukaan.
Presiden Sukarno memberikan persetujuan. Berdasarkan Keppres No 242/1963, Proyek S mendapat pembiayaan US$ 1 juta untuk pembelian sistem roket Kappa dari Jepang, US$ 2 juta untuk pembelian keperluan penelitian dan pengembangan roket sendiri, serta Rp 3 miliar untuk membuat pangkalan peluncuran roket. Pemerintah juga membentuk Lembaga Penerbangan dan Angkasa Luar Nasional (Lapan). Lapan kemudian jadi garda terdepan dalam mewadahi aktivitas peroketan di Indonesia.
Mendapat mandat dari presiden, Omar Dhani menunjuk Jacob Salatun sebagai project officer proyek ini. Timnya diambil dari ITB dan UGM. Pelaksanaannya difasilitasi Lapan. Diputuskan untuk mengimpor 10 roket Kappa-8 dari Jepang untuk keperluan riset ilmiah. Sebelum roket datang, Lapan menentukan lokasi peluncuran. Dengan asistensi Hideo Itokawa, perancang roket tersebut, dibangunlah stasiun peluncuran di pantai Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat –kemudian dikenal dengan nama Pusat Antariksa Pameungpeuk.
Baca juga: Jumlah Sampah di Ruang Angkasa
“Apabila peluncuran roket itu berhasil, maka akan mempunyai arti sangat penting karena untuk pertama kalinya terjadi peluncuran roket menembus luar angkasa di daerah tropis,” ujar Nurtanio Pringgoadisuryo, direktur jenderal Lapan pertama, dikutip Kedaulatan Rakyat 20 Mei 1964.
Setelah semua fasilitas tersedia, tiga roket Kappa-8 pun meluncur ke angkasa; masing-masing pada pada tanggal 9, 11, dan 17 Agustus 1965. Peluncuran, yang dihadiri banyak pejabat penting, berlangsung sukses. Roket pertama bahkan berhasil mencapai ketinggian 364 km, jauh lebih tinggi dari jarak yang dapat ditempuh astronot-astronot dunia saat itu.
Lapan menganalisis dan menyampaikannya dalam Simposium Space Science and Technology di Tokyo. Dari analisis Lapan: hasil cek radar, akselerasi dan deselerasi roket memuaskan, sedangkan untuk penelitian fisika ionosfer dan fisika atmosfer tercatat sebagian memuaskan. Laporan tersebut kemudian disampaikan kepada IQSY sebagai bentuk kontribusi Indonesia dalam bidang penyelidikan atmosfer.
Sayangnya, sisa tujuh roket Kappa-8 tak sempat diluncurkan karena Peristiwa 30 September 1965. Pelaksanaan Proyek PRIMA dan Proyek S membuat Indonesia masuk sebagai salah satu negara Asia, bersama Jepang dan India, yang membangun sistem teknologi roket secara mandiri. Rencananya, proyek ini akan diteruskan ke tahap industri besar yang berdikari. Namun Peristiwa Peristiwa 30 September 1965 menghentikannya. AURI, yang berperan dalam proyek-proyek roket, dituduh terlibat dalam upaya kudeta. Begitu pula dengan Lapan yang dipenuhi perwira AURI.
Pada saat Indonesia berganti pemerintahan, pihak Pemerintah Orde Baru tidak tertarik untuk mengembangkan teknologi roket. “Wernher von Braun, insinyur Amerika Serikat yang roket rancangannya berhasil mengantar manusia sampai ke bulan, sempat membuat grand plan sistem pembangunan roket di Indonesia untuk jangka waktu 11 tahun. Namun pemerintahan Orde Baru sulit menerima karena anggarannya terlalu mahal,” ujar Adi Sadewo Salatun, putra Jacob Salatun yang mengikuti jejak ayahnya sebagai ahli peroketan di Lapan, kepada Historia. “Saat itu Soeharto harus memilih antariksa atau penerbangan. Dia akhirnya memilih penerbangan.”
Pengembangan roket di masa sekarang
Adanya UU Keantariksaan Nomor 21 Tahun 2013, membuat pengembangan roket di Indonesia saat ini sudah dijamin oleh Undang-Undang. Dalam beberapa tahun mendatang, Indonesia mungkin sudah bisa melihat roket besar buatan dalam negeri yang bertugas meluncurkan satelit.
Pengembangan roket membutuhkan tahapan-tahapan tertentu, dan tahapan tersebut sudah dimulai oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) sejak tahun 2015 silam.
Roket tersebut, yang dinamai sebagai Rhan-450, merupakan hasil kerja sama Pusat Teknologi Roket LAPAN, Kementerian Pertahanan, dan PT. Dahana yang tergabung dalam konsorsium Roket Nasional. Rhan-450 merupakan roket balistik dengan konfigurasi panjang total 7,1 meter, diameter 0.45 meter, kecepatan maksimum 4.000 km/jam. Ini merupakan roket dengan bobot terberat yang pernah diluncurkan lapan, yakni massanya 1.600 kg.
LAPAN juga memiliki beberapa roket sonda, jenis roket yang biasa digunakan untuk misi meneliti parameter atmosfer, kelembaban temperatur, dan lainnya. Roket sonda terbesar LAPAN adalah RX-450. Roket berdiameter 450 mm tersebut memiliki panjang total 6.110 mm. Ia memiliki gaya dorong sekitar 12.895 kg serta menggunakan bahan bakar propelan komposit dengan panjang motor 4.459 mm.
Begitulah tadi sejarah dan perkembangan teknologi roket di negara kita ini, ternyata Indonesia mampu dan mengembangkan teknologi roket sejak tahun 1960an, namun sayangnya setelah pmerintahan berubah, proyek pengembangan roketpun berhenti. ABila saja waktu itu dilanjutkan, bukan tidak mungkin hari ini Indoensia sudah mampu mengirimkan orang ke bulan ataupun ke planet Mars.
*sumber: Historia.id, infoastronomy.org