RUANGANGKASA.COM – Jagad raya selalu menyimpan banyak misteri yang mencengangkan. Salah satunya adalah Lubang Hitam (Black Hole) yang seolah tidak ada habisnya diteliti bahkan sejak ratusan tahun yang lalu. Benda ini telah disinggung sejak Michell (1783) yang menyatakan bahwa apabila bintang sedemikian kompak (kerapatannya sangat besar), masif (bermassa sangat besar) dan memiliki gravitasi yang luar biasa kuat, maka pada kondisi tertentu cahaya pun tidak akan dapat lepas dari cengkeramannya. Sekedar membayangkan bahwa apabila kita dapat melompat dengan kecepatan 11,2 km per detik, maka kita akan lepas dari ikatan gravitasi Bumi tempat kita berpijak. Sementara itu, kecepatan cahaya adalah sekitar 300.000 km per detik.

Astronom yang menggunakan Teleskop Luar Angkasa Spitzer NASA (menggunakan utamanya panjang gelombang panjang atau inframerah) telah menemukan dua objek primordial ini,
yang taksiran usianya kisaran 13 miliar tahun (artinya pada orde saat alam semesta usia muda).
Lubang Hitam raksasa seperti ini merupakan salah satu objek paling jauh yang diketahui,
dan diduga baru pada tahap awal pembentukannya, lebih awal dari yang diamati sejauh ini.
Tidak seperti semua Lubang Hitam Supermasif lainnya yang berhasil diamati hingga saat ini,
dua objek primordial ini yang diidentifikasikan sebagai J0005-0006 dan J0303-0019, tidak mengandung materi debu (ini juga tanda masih muda usia atau tahap awal kelahirannya).
Seperti yang ditunjukkan pada gambar,
tampak gas yang berpusar disekitarnya (warna terang hingga jingga, sebut piringan akresi).
Biasanya, piringan ini dikelilingi oleh struktur berdebu layaknya bentuk donat yang disebut torus debu. Namun, untuk objek seprimitif ini,
keberadaan torus debu tidak dijumpai dan hanya piringan gas yang teramati.
Kondisi seperti inilah yang menyebabkan alam semesta awal tampak bersih (tidak berdebu).
Belum cukup waktu sedemikian memberi kesempatan untuk molekul bergabung menjadi partikel debu. Beberapa Lubang Hitam yang terbentuk pada era ini dapat dikatakan bebas debu.
Perlahan saatnya mereka menarik lebih banyak materi atau massa,
dan pada saatnya kelak dianggap telah membentuk struktur cincin debu.
Ilustrasi ini juga menunjukkan bagaimana Lubang Hitam Supermasif dapat mendistorsi ruang dan cahaya di sekitarnya (struktur bintang yang melengkung disekitarnya).
Bintang dari galaksi tetangga “yang tersedot” tampak menyelimuti seluruh kawasannya.
Selain itu bahwa terjadi penggabungan antar galaksi yang tampak mirip gambaran kabut bersilang yang diilustrasikan pada latar belakang.
(Credit: NASA/JPL-Caltech)
Pada tahun 1795, pun Laplace secara terpisah mengemukakan hal yang sama walau di buku cetakan berikutnya – ide ini dihilangkan karena dianggap satu kemustahilan. Keduanya sebenarnya hanya meneliti dampak atau konsekuensi logis dari hadirnya teori gravitasi Newton yang dikembangkan pada tahun 1686. Namun, keduanya juga memiliki imajinasi fisika-matematis yang sama dan sama-sama tidak menyadari bahwa saatnya nanti justru pekerjaannya menjadi medan penelitian para pakar yang ranah ujungnya masih tetap menjadi tabir yang sangat pekat dalam alam kenyataannya.
Pada tahun 1905 muncul Einstein dengan Teori Relativitas Khusus yang mempermasalahkan kerangka acuan dalam kontek ruang-waktu. Sifat dualitas cahaya lebih dimengerti setelah Einstein merumuskan Teori Relativitas Umum yang membahas masalah gravitasi (1915) di mana salah satu hasilnya bahwa lintasan cahaya dapat dibelokkan sebagai dampak pengaruh medan gravitasi dan terbukti untuk pertama kalinya ketika terjadi Gerhana Matahari Total yang terjadi pada tanggal 29 Mei 1919. Fenomena ini juga kemudian memicu teori tentang fenomena lensa gravitasi.
Baca juga: Menemukan Lubang Hitam
Banyak tokoh setelah itu yang berusaha meneliti Lubang Hitam secara fisika-matematis. Sebut saja seperti Schwarzschild (1916, yang kemudian melahirkan istilah Radius Schwarzschild); disusul Eddington (1926, pakar struktur dan evolusi bintang), dan Fowler (yang terkenal dengan teori degenerasi). Selanjutnya seperti Chandrasekhar dengan perumusan terkenalnya terkait limit massa Katai Putih (1930, White Dwarf) di mana limit ini biasa disebut Limit Massa Chandrasekhar yang karenanya memperoleh hadiah Nobel tahun 1983. Sementara itu tanggal 27 Oktober 1927 diadakan konferensi di Brussel yang membahas teori kuantum (lahirnya teori mekanika kuantum). Di antara mereka yang ikut konferensi adalah Planck, Einstein, Bohr, Schrodinger, Pauli, Heisenberg, Dirac, de Broglie, Born (semua nantinya menerima hadiah Nobel dan kini para peneliti bidang Fisika Teori tentu mengenal teori-teori yang diusung oleh tokoh-tokoh ini). Teori-teori mereka ternyata sangat berguna bahkan menjadi dasar dalam menelaah benda yang kita bahas di sini.
Sang Misterius: John Michell
(Pendeta) John Michell (25 December 1724 – 29 April 1793; wiki/John_Michell) adalah putra dari rektor di Eakring, di pusat Nottinghamshire, dan lahir di Rectory pada hari Natal tahun 1724. Diterima di Queens’ College, Cambridge, pada tahun 1742. Beliau lulus dalam bidang Matematika sebagai Fourth Wrangler pada tahun 1748. Tahun berikutnya terpilih menjadi Fellow of Queens’ College, di mana ia mengajar bidang aritmatika, geometri, bahasa/budaya Yunani dan Ibrani. Lulus dengan gelar MA pada tahun 1752, dan 8 tahun kemudian terpilih sebagai anggota Fellow of the Royal Society. Pada tahun 1762 diangkat sebagai Woodwardian Professor of Geology di Cambridge, tetapi hanya satu tahun karena kemudian menjadi rektor dari Compton, dekat Winchester, dan tidak lama kemudian memutuskan untuk menghabiskan sisa hidupnya sebagai pendeta. Michell pindah ke Yorkshire di mana di sela waktunya dia menekuni bidang Astronomi. John Michell meninggal pada tanggal 29 April 1793. Tidak ada gambar diri yang diketahui tentang John Michell. Ada satu deskripsi tentang Michell yang direkam di Cole MSS XXXIII/156 di British Library:
“John Michell, BD is a little short Man, of a black Complexion, and fat;
but having no Acquaintance with him, can say little of him. I think he
had the care of St. Botolph’s Church [Cambridge], while he continued
Fellow of Queens’ College, where he was esteemed a very ingenious
Man, and an excellent Philosopher. He has published some things in
that way, on the Magnet and Electricity.”“As there is, so far as I know, no extant portrait of John Michell, the best I can do is to frame the above quotation from a contemporary diary (Cole MSS XXXIII, 156, British Library)
Dikenal juga sebagai “Bapak Seismologi Modern”, karena menguasai masalah teori lempeng tektonik sedemikian dikenal di kalangan para ahli geologi bahkan mendapat tempat terhormat seperti yang ditulis di atas, yaitu menempati kursi di Woodwardian of Geology. Namun demikian, sejatinya bahwa Michell dapat disebut sebagai seorang polymath (ahli dalam berbagai bidang keilmuan) dan menjadi kontributor handal dalam ragam keilmuan termasuk geologi dan astronomi. Dalam bidang elektromagnetik, Michell menunjukkan bahwa gaya magnet menurun dengan kuadrat jarak. Setelah gempa besar di Lisbon pada tahun 1755, ia mengusulkan bahwa gempa bergerak menjalar dalam ujud gelombang menembus lapisan Bumi yang padat, yang kemudian hari memberi ruang bagi perkembangan bidang ilmu seismologi. Dia juga memenangkan pemilihan untuk Royal Society untuk wawasan bidang tersebut (ref.: Weighing the World: The Reverend John Michell of Thornhill; karya Russell McCormmach).
Sebagai pakar Fisika, Michell dikenal sebagai pelaku percobaan pengukuran parameter konstanta gravitasi “G” berbasis teori Newton yang sangat terkenal. Merancang alat eksperimennya yang kemudian digunakan oleh Cavendish untuk mengukur gaya gravitasi di laboratorium untuk mendapatkan nilai akurat pertama untuk konstanta tersebut. Peninggalan ilmunya ini digunakan sebagai standard para ahli selanjutnya semisal tentang gerak yang dikembangkan oleh Wollaston, Jacksonian Profesor di Cambridge yang pada gilirannya menyerahkannya kepada Cavendish di mana berhasil memodifikasi persamaan yang dikembangkan Michell dengan hasil yang sukses dan membuatnya terkenal di kalangan para ahli Fisika. Walau demikian, Cavendish tidak pernah lupa menyebut Michell dalam setiap kesempatan (ref: Mystery at the Rectory: some light on John Michell, Richard Crossley).
Kepeloporan lain bahwa dia juga merupakan orang pertama yang menerapkan metode statistik untuk Astronomi seperti yang dinyatakan Hughes (lihat kutipan di bawah). Dia mempelajari bagaimana bintang didistribusikan di langit malam dan berpendapat bahwa ada lebih banyak “pasangan” atau kelompok atau gugus bintang daripada distribusi bintang yang terjadi dengan acak dan tunggal (Matahari tergolong bintang tunggal yang tidak memiliki pasangan ataupun kelompok). Analisisnya memberikan bukti pertama untuk penemuan bintang ganda/jamak dan gugus bintang yang nyatanya kini diketahui bahwa sebagian besar bintang adalah bintang ganda/jamak atau gugus bintang (Matahari unik karena tergolong bintang tunggal). Analisis lain yang khusus adalah tentang bagaimana perhitungan matematisnya tatkala menera gerak antar bintang yang dapat saling mengedari satu sama lain. Dinamika bintang ganda inilah yang dapat menggiringnya pada teori tentang bagaimana menentukan besar massa keduanya.
Kelompok Bintang
Sekedar catatan dari hipotesis Michell tentang kelompok bintang mungkin dapat dianalisis dari hasil observasi modern. Teleskop atau teropong adalah alat bantu visual yang mempunyai daya pisah besar, sehingga bintang yang dengan kasat mata tampak hanya satu ternyata banyak yang berpasangan. Bahkan kini diketahui bahwa sebagian besar bintang adalah pasangan bintang. Sistem bintang berpasangan inilah yang disebut bintang ganda (binary star). Uniknya, kini diketahui ada banyak pula bintang ber-tiga hingga ber-enam. Mereka disebut bintang jamak (multiple star). Namun, ada juga bintang yang bergerombol yang disebut gugus bintang (cluster). Sekarang diperkirakan bahwa 60% bintang-bintang di alam semesta adalah bintang ganda/jamak, sisanya bintang tunggal dan gugus bintang.
Pasangan bintang ganda bergerak saling mengedari antara satu dengan lainnya dan gerak itu dapat teramati secara visual bagi yang jarak antar anggotanya relatif berjauhan. Kita bayangkan gerak antara Bumi dan Bulan. Kira-kira seperti itulah kondisinya. Bintang Alpha Centauri adalah bintang ganda visual yang terang di langit sebelah selatan. Pada pasangan bintang itu, apabila kita aumsikan salah satu bintangnya diam, maka bintang pasangannya mengitarinya dalam waktu 80 tahun. Karena relatif mudah dilihat dengan teleskop (sebut secara visual), maka bintang ganda ini digolongkan sebagai bintang ganda visual. Kini, dalam sistem bintang ini diketahui adanya bintang ketiga, yaitu Proxima Centauri yang sekaligus merupakan bintang terdekat ke Matahari.
Pada kasus Arp 240 (Gambar 2 di atas), bahwa yang saling mengedari satu dengan lainnya bukanlah bintang, melainkan pasangan galaksi spiral. Hal ini juga diperkirakan akibat keduanya memiliki pusat yang merupakan Lubang Hitam Supermasif yang berlaku sebagai pengikat keduanya dengan tarikan gravitasi yang luar biasa besarnya.
Sebuah makalah yang ditulis Michell pada bulan November 1783 kepada Cavendish – yang kemudian diterbitkan dalam jurnal ilmiah Royal Society – termasuk yang terbukti paling akurat. Niat sejatinya memang bukan untuk “menemukan” benda-benda eksotis, tetapi untuk menemukan metode yang berguna untuk menentukan seberapa besar massa bintang. Namun, saat prosedur penelusurannya berbasis teori yang diajukan di mana Michell menganut teori cahaya dan gravitasi dari Isaac Newton, mulailah tampak adanya sesuatu yang berdampak pada pengembangan teori gravitasi selanjutnya. Bagi Michell bahwa cahaya terbuat dari partikel (corpuscular theory of light), dan diargumenkan bahwa ketika mereka dipancarkan oleh bintang, tarikan gravitasi bintang itu akan mengurangi kecepatannya (jadi, tentang dualisme cahaya pun sudah mengemuka jauh sebelum era Einstein). Akibatnya, akan menghasilkan pergeseran cahaya bintang dan baginya tentu ini dapat diamati. Pada pemikirannya bahwa hal ini dapat diukur, seberapa banyak kecepatan cahaya berkurang dengan melewatkannya melalui prisma; juga diuraikan bahwa dapat terjadi pembelokan secara berbeda karena energi yang berkurang.
Baca juga: Mengamati Energi Besar di Lubang Hitam Supermasif
Pada analisis seperti yang ditulis pada awal artikel bahwa apabila semidiameter sebuah bintang dengan kerapatan massanya sama dengan Matahari, namun dengan ukuran yang jauh lebih kecil, maka objek tersebut butuh kecepatan lepas (kecepatan minimal yang dibutuhkan objek agar lepas dari pengaruh gravitasi objek lainnya) yang sangat besar dan tidak menutup kemungkinan cahaya pun tidak akan dapat lepas darinya. Bayangkan cahaya, dengan besar kecepatan kisaran 300.000 km per detik pun tidak dapat lepas dari ikatan gravitasi objek tersebut. Artinya, apabila ini terjadi, maka cahaya objek itu tidak akan pernah sampai ke mata kita. Kita sama sekali tidak mendapat informasi apapun dari objek tersebut.
Dibayangkan dengan membandingkan citra bias bintang yang berbeda untuk menentukan perbedaan gravitasi permukaan mereka, dan dari analisis ini dapat dihitung besarnya massa masing-masing (Michell anticipates black holes).
At the time the ‘corpuscular’ theory of light was the vogue. This regarded light as being made up of ‘corpuscles’ or particles similar in some respects to the modern idea of the photon. It was therefore considered a possibility that light could be affected by gravity in the same way as ordinary matter. Over one hundred years prior to this in 1676 Olaus Roemer had discovered that the speed of light was finite through observed variations in the period of Jupiter’s moon Io. Observations of stellar aberration by James Bradley in 1728 produced further confirmation and a more accurate value for the speed of light of 295,000 kilometers per second compared to today’s figure of 300,000 km per second. The Newtonian concept of escape velocity as being the minimum velocity needed to escape from a planet’s surface to infinity was well understood. For a spherical mass M of radius R it is simply: sqrt(2GM/R) where G is the Gravitational constant. The escape velocity thus increases as the object’s mass increases and also increases if the mass remains the same but the radius gets smaller. Michell pondered a body so massive that the escape velocity at its surface was equal to the speed of light (edinburgh/journals).
Hughes dan Cartwright menyatakan bahwa Michell adalah “…the first statistical astronomer, and that he pioneered the application of probability theory to stellar distributions.” Adapun Jungnickel dan McCormmach (Montgomery et al, 2009), juga menyanjungnya:
“… his publications in astronomy were – by default, it would seem – theoretical. In speculative verve he was Herschel’s equal, and since he had mathematical skills equal to Maskelyne’s and Cavendish’s, he could develop his theoretical ideas farther. In breadth of scientific knowledge, Michell resembled William Watson … like Watson, Michell was knowledgeable in natural history as well as in natural philosophy.”
Selain itu, sebagai seorang astronom, Michell adalah seorang pengamat langit dan seorang teoretikus. Selama hidupnya, setidaknya ia berhasil membuat teleskopnya sendiri dengan jenis reflektor kisaran tahun 1780. Selain itu, kontribusinya antara lain adalah keterlibatannya dalam penelitian tentang dinamika komet yang terlihat tahun 1760 serta fenomena transit Venus tahun 1761. Segera setelah kematian Michell, instrumen ini dideskripsikan oleh menantunya dalam sebuah surat kepada William Herschel (yang pada tahun 1781 menemukan planet Uranus):
“The dimensions and state of the telescope are nearly as follows. A Reflecting Telescope Tube 12ft long made of Rolled Iron painted inside and out, and in good preservation. The diameter of the large speculum 29 inches. Focal length 10 feet, its weight is 330 lbs it is now cracked. There are also 8 concave small mirrors of different sizes … and 2 convex mirrors … there are also [?] sets of eyeglasses in brass tubes and cells. The weight of the whole is about half a tun [sic] …”
Herschel kemudian membeli teleskop ini. Dari penyelisikan bahwa inilah satu-satunya kaitan antara keduanya. Memang pada kemudian hari (1871, dari salah satu pewaris Michell), ada yang menyatakan bahwa Michell mengilhami Herschel untuk terjun dalam bidang Astronomi. Namun, hal ini dibantah karena praktis tidak ada kaitannya antara keduanya kecuali pada transaksi teleskop. Tetap saja hal ini masih merupakan misteri yang unik. Herschel sang penemu Uranus adalah seorang astronom amatir, sedangkan putranya, yaitu John Herschell menjadi astronom profesional yang lebih menekuni bidang terkait galaksi. Apapun yang terjadi masa itu, yang jelas masing-masing sudah memberikan kontribusinya yang besar bagi dunia Astronomi. Sebuah legacy yang sangat berdaya guna bagi generasi berikutnya.
Formulasi Awal
Berdasarkan teori gravitasi Newton bahwa kecepatan lepas v pada posisi r dihitung dari pusat gravitasi sebuah objek (bintang) dengan massa m karakternya dapat dirunut dengan relasi yang cukup sederhana sebagai berikut
v 2 / 2 = G m / r
Jadi, setiap objek memiliki pengaruh gravitasinya sendiri dan hal ini tergantung besarnya harga m atau massanya. Dalam hal ini bahwa besaran potensial ini tergantung struktur bagian dalam bintang (hal ini lebih karena distribusi massa akan membesar ke arah pusat bintang). Memang, dalam kondisi tertentu di mana di luar objek atau bintang tersebut dapat jadi adalah ruang hampa. Hal ini juga diulas oleh Einstein (solusi statisnya, yang tidak bergantung waktu).
Yang menjadi konsekuensi logis dari persamaan tersebut adalah munculnya pertanyaan, Bagaimana apabila objek tadi terpampatkan sedemikian radiusnya menjadi sangat kecil? Bayangkan radiusnya mendekati harga nol. Harga r pada suku kanan persamaan di atas menjadi nol. Sederhananya kita hitung angka berikut ini: 1/32, 1/16, 1/8, ¼, ½, 1/1, maka makin kecil pembaginya (atau makin kecil harga r) di mana di sini 32 menjadi 1, maka hasil suku kiri persamaan di atas (atau harga v) semakin besar. Jadi kecepatan lepasnya akan semakin besar bahkan dapat melewati besarnya kecepatan cahaya c yang bernilai kisaran 300.000 km/s.
Kini, apakah dapat dijabarkan adanya objek dengan massa m dan radius r yang memenuhi kaidah berikut
2 G m / rc2 ≥ 1
Sejatinya, permasalahan inilah yang ditelusuri oleh Michell sejak tahun 1783 yang dilanjutkan analisisnya oleh Pierre Simon de Laplace sejak 1796. Apakah cahaya akan kembali ke sumbernya? Kita bayangkan sedang menyalakan sebuah lampu sorot ke arah depan, dan pada jarak tertentu cahayanya kembali ke arah kita. Apapun dalihnya terdapat dugaan sederhana bahwa cahayapun tentu tidak dapat melaju dengan kecepatan tidak terbatas.
Kembali ke masalah yang ditelusur oleh Einstein di atas bahwa solusi eksterior dengan karakter simetri bola (sama dalam arah radial atau ke segala arah), yang disebut ruang-waktu Schwarzschild, hanya bergantung pada besarnya massa interior tersebut. Jika objeknya kecil, maka radius eksterior Schwarzschild pun mencapai ke jarak yang cukup dekat pada jarak yang didefinisikan sebagai horizon, layaknya permukaan tidak kasat mata di mana cahaya tidak bisa bergerak keluar (cahaya terperangkap didalamnya). Jari-jari horizon sebesar 2GM/c2 adalah, secara kebetulan, sama dengan radius kritis untuk benda-benda “tidak terlihat” dalam teori Newton. (Arti “radius” sebagai jarak ke pusat tidak dapat langsung diidentikkan untuk solusi Schwarzschild. Radius horison sebenarnya berarti luasan permukaan dari event horizon, yaitu 4πR2H.)
Baca juga: Ketika Dua Bintang Saling Bertabrakan
Dalam teori Einstein, solusi “eksterior” dapat diterapkan tanpa solusi interior (ada apa didalamnya, proses apa di internalnya tidak ditinjau). Dalam hal ini adalah mencari solusi gravitasi itu sendiri, tidak untuk materi interiornya, yang bertindak sebagai sumber gravitasi. Solusinya tidak mencapai titik pusat objeknya, melainkan terhubung melalui jembatan ruang-waktu ke ruang-waktu atau alam semesta lain, atau bagian lain dari dunia kita. Untuk Lubang Hitam dalam penyelisikan Astrofisika, terbentuk dari keruntuhan materi (collapse atau gravitational collapse dari suatu objek, di mana solusi (fisis) terhadap distribusi materinya menggantikan solusi vakum Schwarzschild di bagian dalam Lubang Hitam (interior). Solusi ini tidak memiliki jembatan ruang-waktu dari Lubang Hitam matematis yang ideal, tetapi mengandung “titik singularitas” di mana materi terpadatkan hingga kerapatan tak-hingga. Pada kondisi ekstrim di dekat kondisi terbentuknya singularitas diharapkan bahwa Teori Relativitas Umum tidak berlaku lagi, dan Teori Gravitasi Kuantum yang belum diketahui secara purna karakter fisisnya justru menjadi sangat dibutuhkan (quantum gravity).
Memang setelah diprediksi adanya sifat materi, khususnya sifat gelombang dari cahaya, maka dianggap pula bahwa cahaya akan tetap dapat meloloskan diri dari adanya batas di atas. Sekarang kita tahu bahwa pertimbangan yang “tampaknya sederhana” semacam itu cukup membingungkan (kala itu mungkin menjadi suatu kewajaran lahirnya komentar bahwa analisis ini dianggap menyesatkan). Untuk memahami apa yang terjadi dengan objek yang sangat masif dan compact, kita harus mempertimbangkan Teori Relativitas Einstein, baik Relativitas Khusus dan Relativitas Umum, teori yang menggambarkan besarnya medan gravitasi ketika kecepatan yang dihasilkan adalah sebanding dengan kecepatan cahaya.
Tidak lama setelah Einstein memformulasikan teori relativitasnya, disadari bahwa persamaan tersebut memiliki solusi dalam bentuk tertutup. Satu cara adalah terkait solusi dengan kondisi simetri radial (sama ke segala arah). Lainnya yang cukup menarik perhatian para pakar adalah yang rasanya sukar diterima sebagai realitas fisik, yaitu yang terkait singularitas (sejatinya, dalam realitas sehari-hari pun hingga kini tetap membingungkan banyak kalangan dan mohon maaf termasuk penulis sendiri). Setelah penelitian teoritis dengan seksama, nyatanya itulah yang ditemukan. Setidaknya pada prinsipnya, seorang penjelajah ruang angkasa dapat masuk kedalamnya dan berjalan-jalan ke mana dia suka sejauh-jauhnya tanpa dapat kembali lagi. Nyatanya bahwa cahaya pun tidak akan dapat keluar dari wilayah tersebut. John Archibald Wheeler lalu menjuluki objek semacam ini sebagai “Black Hole” atau Lubang Hitam. Sejak itulah julukan ini melekat hingga sekarang.
Seperti banyak pakar pada awal penemuannya, Einstein percaya bahwa karakter aneh objek telaahnya sebagai akibat dari buruknya pemahaman fisisnya (uniknya justru karena formulasinyalah, pakar lain dapat semakin memahami fenomena terkait objek ini). Tentunya, yang terpikir bahwa Lubang Hitam itu akan hilang. Hari ini, bagaimanapun, persamaannya dipahami jauh lebih baik. Para pakar pun sepakat bahwa mereka tidak hanya menerima keberadaan Lubang Hitam, tetapi juga mengerti bagaimana caranya mereka benar-benar dapat terbentuk dalam berbagai keadaan.
Teori yang ada pada akhirnya memungkinkan kita untuk mengetahui 2 perilaku materi, suatu medan (layaknya medan magnet, medan gravitasi) atau substansi lain di dekat atau di dalam Lubang Hitam. Selain itu, para astronom sekarang telah mengidentifikasi banyak objek di langit yang sepenuhnya cocok dengan uraian yang dihasilkan oleh para teoritikus. Benda-benda ini tidak dapat ditafsirkan sebagai sesuatu yang lain selain Lubang Hitam. Dari beragam teori disimpulkan bahwa Lubang Hitam tidak menunjukkan ketidakselarasan dengan kaedah atau hukum Fisika lainnya. Memang, mereka telah menjadi sumber yang kaya pengetahuan tentang fenomena fisik dalam kondisi ekstrim. Relativitas Umum itu sendiri sekarang juga dapat diperiksa hingga keakuratan yang luar biasa.
Astronom menemukan bahwa Lubang Hitam hanya dapat terbentuk dari objek bintang normal dengan besaran massa tertentu, sebut beberapa kali massa Matahari. Untuk yang bermassa kecil, tidak ada proses pembentukan yang diketahui, dan memang tidak ada indikasi telah ditemukan bahwa Lubang Hitam memiliki massa lebih kecil dari “Limit Chandrasekhar”.
Chandrasekhar
Subrahmanyan Chandrasekhar 19 Oktober 1910 (Lahore, Punjab) – 21 Agustus 1995 (Chicago, USA) adalah seorang astrofisikawan Amerika India yang menghabiskan kehidupan profesionalnya di Amerika Serikat. Dianugerahi Hadiah Nobel Fisika tahun 1983 bersama William A. Fowler terkait teori tentang proses fisika yang penting bagi struktur dan evolusi bintang”. Perumusan matematisnya tentang evolusi bintang juga menghasilkan banyak model teoritis terbaik saat ini dari tahap evolusi lanjut dari bintang bermassa besar hingga hadirnya Lubang Hitam. Dalam Astronomi dikenal istilah Batas (Limit) Massa Chandrasekhar (Chandrasekhar limit) sesuai dengan namanya (wiki/Chandrasekhar).
Dilema yang disajikan ke dunia ilmiah oleh Chandrasekhar pada awal ketertarikannya (1931), yaitu penelitian tentang keberadaan massa maksimum untuk bintang katai putih (White Dwarf) dan ini nyatanya semakin mendapat apresiasi dari para peneliti Astronomi, Fisika, dan Matematika di dunia. Salah satu tokoh terkenal adalah Eddington, yang tidak salah kalau dikatakan sebagai salah satu peneliti yang memahami implikasi serius dari apa yang dihasilkan oleh Chandrasekhar.
Dengan asumsi keabsahan Persamaan Keadaan Relativistik (the relativistic equations of state), tampaknya bintang katai putih dengan besar massa lebih dari sekitar 1,4 kali massa Matahari akan mengalami apa yang disebut sebagai keruntuhan gravitasi (gravitational collapse; biasa terjadi pada proses terjadinya supernova tipe II atau SNII), membuat kerapatannya bahkan hingga ke level tidak berhingga (radius nol). Namun, Eddington sendiri menganggap ini sebagai “a reductio ad absurdum”. Uniknya, justru hal ini muncul karena Eddington sendiri berpikir bahwa barangkali hasil ini merupakan sesuatu yang salah ketika Chandrasekhar mengaplikasikan persamaan relativistik pada teorinya.
Saat itu mungkin dapat terjadi hal seperti itu, namun Penrose, seorang pakar Matematika, nyatakan bahwa seharusnya Eddington sebagai peneliti selevel demikian juga memikirkan bahwa beberapa prinsip atau kaidah Fisika yang baru dan penuh terobosan dapat jadi muncul sedemikian memang justru melahirkan solusi yang sesuai dengan apa yang dijumpai. Padahal sebenarnya inipun – secara sadar ataupun tidak – justru teori tersebut Eddington aplikasikan pada tahun – tahun berikutnya dalam meneliti struktur dalam bintang, termasuk dalam kajian evolusi bintang. Walaupun pada akhirnya Eddington pun menyadari bahwa apa yang dihasilkan oleh Chandrasekhar baik dari sisi Matematika, Fisika, dan Astronomi adalah benar adanya. Namun, tetap terasa kental ketidak sepahaman Eddington. Salah satu komentar dari Penrose, “Yet Eddington had a point: the impossibility of an equilibrium state would lead to the star’s unstoppable collapse. Would this collapse continue until the star becomes so compressed that it reaches its Schwarzschild radius (r =2m), thought at that time to be a dimension at which the very metric structure of space-time becomes singular?” (blackholes singularities)
Temuan demi temuan baik teori atau observasi nyatanya semakin mengukuhkan keberadaan objek Lubang Hitam. Tahun 1932 Chadwick menemukan partikel yang disebut neutron. Penemuan ini menggiring pada lahirnya konsep bintang neutron sebagai hasil supernova oleh Baade–Zwicky–Landau (1934); juga Hubble (1936) yang terkenal pula dengan teori “Big Bang”–nya, bahkan namanya diabadikan untuk nama teleskop. Teori Lubang Hitam pertama yang memasukkan secara rinci Teori Relativitas Umum tahun 1936 adalah karya Oppenheimer–Snyder. Dengan teori Carter–Kerr dan Reissner–Nordstrom tahun 1963, akhirnya muncullah istilah Black Hole untuk pertama kalinya oleh Wheeler tahun 1967 dalam salah satu makalahnya. Setelah itu, penelitian terhadap Lubang Hitam semakin gencar.
Tidak hanya semua informasi tentang komposisi material menghilang ketika bintang runtuh ke dalam Lubang Hitam; apa saja medan magnet, misalnya, juga menghilang di belakang Horizon Peristiwa (Event Horizon). Lubang Hitam hanya dapat memiliki tiga sifat yang dapat diamati: massa, momentum sudut, dan muatan listrik.
Dengan karakteristik seperti ini, juga melihat kecenderungan pada objek masif lain seperti terbentuknya bintang neutron ataupun pulsar, tentu faktor rotasi menjadi sesuatu yang wajib diperhitungkan. Kekekalan momentum sudut tentu menjadi maujud dan tentu membuat rotasi Lubang Hitam menjadi sangat cepat. Pada tahun 1963 Roy Kerr berhasil menemukan solusi dari persamaan medan (gravitasi, dll) untuk Lubang Hitam yang berputar. Selain terbentuknya Horizon Peristiwa bahwa objek ini memiliki batasan lain pada wilayah sekitar permukaannya yang justru karena dampak kecepatan putar yang tinggi, sebut sebagai batas statis ellipsoid (an ellipsoidal static limit). Objek di dalam batas ini tidak dapat berada dalam kemapanan walau pergerakannya tetap mengorbit Lubang Hitam. Berdasarkan teori Kerr bahwa materi dimungkinkan untuk keluar dari wilayah antara batas statis dan horison peristiwa di mana wilayah yang memungkinkan terjadinya pelepasan materi yang disebut sebagai ergosfer (Karttunen, 2007, p.298-300).
Sekedar tambahan kisah (scholarpedia.com; Black Holes; karya Creighton dan Price – University of Texas) bahwa solusi Lubang Hitam Stasioner yang lebih umum dari hadirnya teori Einstein adalah solusi Kerr seperti yang disinggung di atas. Pertimbangan teori ruang-waktu vakum dengan adanya perhitungan terhadap hadirnya massa dan momentum sudut, dan diteliti untuk mempelajari objek Lubang Hitam yang bergerak mengedari objek lain (tinjau bintang ganda) atau berotasi. Dalam bentuk matematisnya yang murni, Lubang Hitam Kerr berisi jembatan ruang-waktu, tetapi seperti dalam kasus Lubang Hitam Schwarzschild bahwa jembatan ini tidak ada dalam Lubang Hitam yang nyata yang terbentuk oleh keruntuhan materi. Berbeda dengan ruang-waktu Schwarzschild, solusi Kerr bukanlah ruang-waktu eksterior dari objek material dengan momentum sudut (Bahkan tidak ada solusi yang realistis yang ditemukan untuk menggabungkan eksterior Kerr dengan interior material). Solusi Kerr hanya menjadi ruang luar asimtotik setelah runtuhnya suatu objek.
Adapun pengembangannya seperti hadirnya dua solusi matematis lainnya, yaitu berbasis ruang-waktu Reissner-Nordström, yang mewakili Lubang Hitam dengan muatan massa dan listrik, dan berbasis teori ruang-waktu Kerr-Newman, yang mewakili Lubang Hitam dengan massa, muatan listrik, dan momentum sudut. Memang dianalisis bahwa kondisi ini tidak relevan secara astrofisika-nya, karena ranah ujudnya memiliki muatan listrik yang dapat diabaikan. Semua ruang-waktu ini, termasuk yang mempertimbangkan parameter momentum sudut adalah solusi statis yang tidak bergantung pada waktu. Tetapi dalam relativitas tidak ada arti unik untuk waktu, jadi pertanyaan pentingnya adalah “Just what ‘time’ is it of which the stationary black holes are independent?” Jawabannya terletak pada fakta bahwa seseorang dapat menetapkan setiap titik dalam ruang-waktu (4 identifikasi; 3 ruang 1 waktu) yang secara unik mengidentifikasi lokasi setiap titik. Ruang-waktu dikatakan sebagai statis, layaknya penelusuran Lubang Hitam Kerr, harus memiliki sifat khusus, yaitu koordinat waktu dapat dipilih sehingga geometri ruang-waktu adalah sama pada setiap saat pada sistem koordinat tersebut (dapat lihat pembandingnya pada Shapiro, S. L. and S. A. Teukolsky (eds.), 1986 dan Shapiro, S.L. and Teukolsky, S.A., 1983).
Evolusi Bintang
Belajar bintang memang unik. Kita tidak dapat melihat dari dekat atau memegangnya. Kita hanya dapat menerima pancaran energinya saja. Riwayat bintang tidak ubahnya manusia yang mengalami kelahiran – lalu menjalani kehidupan yang kadang singkat kadang panjang – pada akhirnya mengalami kematian. Demikian pula bintang (atau jagad raya dalam skala besar). Proses padamnya pun bervariasi. Salah satunya dengan meledak. Ledakannya pun beragam sehingga dikenal ada nova dan supernova. Supernova pun bervariasi tergantung seberapa besar massa bintang (identik juga dengan ketersediaan bahan bakar dan proses nuklirnya)(silakan lihat Supernova).
Dari besarnya massa bintang dapat dianalisis dan diprediksi akhir riwayatnya karena semakin lama bahan bakar ini semakin menipis. Kalau terlalu kecil akhirnya menjadi katai gelap atau katai coklat. Untuk Matahari, dapat menjadi katai putih dengan proses bersamaan terbentuknya Kabut Planet (Planetary Nebulae, tidak berkaitan dengan planet layaknya planet dalam Tata Surya). Atau, kalau massanya cukup besar dapat menghasilkan nova atau supernova. Bahkan sejak tahun 1990-an diindikasikan adanya hipernova. Dari penelitian ternyata fenomena supernova dapat melahirkan bintang neutron, pulsar (pulsating radio sources), dan Lubang Hitam.

SN1987A di Awan Magellan Besar memunculkan revolusi teori yang baru
bahwa SNII dapat terjadi pada bintang maharaksasa biru.
Sebelum kejadian ini bahwa sebagai standard adalah berbasis bintang berusia tua maharaksasa merah. Setelah era ini maka penelitian supernova semakin beragam.
Termasuk penemuan supernova di galaksi luar setelah era kemajuan alat deteksi dengan rentang panjang gelombang yang beraneka, termasuk SN1993J yang berupa maharaksasa jingga.
Diduga akan terbentuk pulsar di pusat ledakannya.
Ternyata berdasarkan teori bahwa ledakan supernova pun dapat melahirkan objek langit lain
yang disebut Lubang Hitam (Black Hole).
Dengan suatu mekanisme tertentu membuat bagian inti bintang mengerut sangat cepat
sedemikian menjadi sangat mampat.
Hal ini menyebabkan gravitasinya sedemikian kuat, bahkan cahaya sekalipun tidak bisa lepas darinya.
Sebagian materi yang dikenal sebagai neutrino sebagai materi hasil ledakan dinyatakan sampai ke Bumi, walau tidak terbayangkan perjalanannya
yang harus menempuh jarak 163 ribu tc (Bima Sakti – Galaksi Rumah Kita)
SN 1987A ditemukan secara terpisah oleh Ian Shelton dan Oscar Duhalde
di Las Campanas Observatory – Chile tanggal 24 Februari 1987.
Selang 24 jam kemudian olehAlbert Jones di Selandia Baru.
Pada tanggal 4 hingga 12 Maret 1987 berhasil diamati oleh wahana Astron
yang berbasis panjang gelombang ultraungu.
Selang 4 hari setelah diketahuinya ledakan tersebut (yang juga kasat mata), dugaan kuat bintang sumbernya (progenitor) adalah bintang yang dalam katalog diidentifikasi sebagai Sanduleak −69 202 (Sk -69 202) yang merupakan bintang maharaksasa biru. Setelah kecerlangan ledakan mulai meredup, ternyata memang bintang tersebut sudah tidak ada. Akhirnya konfirmasi diperoleh bahwa memang bintang tersebut yang menjadi supernova. Inilah yang dimaksudkan adanya revolusi teori terjadinya supernova yang pada era sebelumnya bahwa yang dapat meledak seperti itu
adalah Maharaksasa merah.
Credit: NASA, ESA, P. Challis (Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics)
Bintang bermassa besar akan membentuk unsur berat dipusatnya. Suatu saat akan terjadi penumpukan energi yang luar biasa sedemikian tercipta keadaan elektron terdegenerasi (terjadi hanya saat kerapatan sangat tinggi, sebut kerapatan nuklir), di mana besarnya tekanan sepenuhnya ditentukan hanya oleh besaran kerapatan massa (persamaan gas ideal tidak berlaku lagi). Terjadilah ledakan nuklir yang sangat hebat. Untuk yang bermassa ± 6-10 kali massa Matahari biasanya akan meledak melalui proses termonuklir – hancur berantakan tidak bersisa (Supernova tipe I ≡ SNI). Yang lebih besar akan berbeda. Dipusatnya akan terbentuk inti besi, inti yang paling mantap karena energi ikatnya paling kuat. Namun, apabila tekanan dan temperatur semakin tinggi, inti besi justru terurai menjadi inti unsur yang lebih ringan dan proses ini bersifat endotermik atau yang bersifat menyerap energi. Dalam skala rentang waktu terjadinya reaksi nuklir, tentu berlangsung hanya dalam orde milidetik saja dan terjadi pada daerah yang radius dan besar massanya cukup signifikan yang tidak lain adalah pusat bintang. Kondisi ini membuat tekanan di pusat bintang mendadak turun (ibarat kita duduk di atas balon udara yang tiba-tiba meletus) dan terjadilah keruntuhan gravitasi (gravitational core-collapse) dan berlangsung dalam orde detik bahkan milidetik (Supernova tipe II ≡ SNII).
Saat pusat bintang semakin mampat akibat keruntuhan, maka di batas antara inti atau pusat bintang dengan selubung atau mantel bintang terjadi reaksi nuklir yang sangat hebat yang energinya melontarkan lapisan mantel ke segala arah dalam ujud ledakan. Sementara di pusat yang sudah begitu mampat (istilahnya “mencapai kerapatan nuklir”, kisaran 1015 gram per sentimeter kubik), elektron yang ada berhasil menembus inti (sebut sebagai fusi nuklir) membentuk neutron.

ke arah rasi bintang Camelopardalis. Foto ini merupakan gabungan hasil bidikan foto
dengan menggunakan teleskop angkasa Hubble dan Chandra, serta VLA.
Kabut gas-nya mencapai suhu 50 juta derajat; memancarkan sinar X yang sangat kuat.
Dengan sumber pancar berdiameter > 640,000 tc (>6x diameter Bima Sakti). Juga pemancar gelombang radio yang kuat (warna merah) yang berhasil dideteksi dengan VLA telescope (New Mexico). Semua ini tidak lepas dari pemancaran partikel bermuatan yang keluar dari pusatnya yang diduga kuat adalah sebuah supermassive black hole dengan massa sekitar 1 milyard kali massa Matahari. Adapun massa keseluruhan gas yang ada mencapai 1 trilyun massa Matahari. Credit: NASA, ESA, CXC, STScI, and B. McNamara (University of Waterloo); NRAO, and L. Birzan and team (Ohio University). https://hubblesite.org/image/2012/category/15-galaxy-clusters
Pada saatnya nanti, dengan kondisi tertentu, maka neutron inipun mengalami giliran terdegenerasi. Pada waktu inilah memungkinkan terjadinya penghentian proses keruntuhan gravitasi dibarengi dengan peningkatan secara ekstrim besarnya tekanan pusat bintang (menahan keruntuhan). Apabila keruntuhan berhenti, maka kondisi setimbang inilah yang pada akhirnya membentuk bintang neutron. Apabila bintang neutron ini berotasi sangat cepat, maka terbentuklah pulsar. Bintang ini baru ditemukan pada tahun 1967 oleh Hewish – Bell dan merupakan jawaban dari perhitungan Baade – Zwicky – Landau tahun 1934. Andai saja Matahari dapat menjadi bintang neutron, maka radiusnya harus diperkecil menjadi kisaran 5 – 10 km saja.
Pada kondisi lebih ekstrim lagi, tekanan neutron terdegenerasi pun tidak sanggup menahan keruntuhan gravitasi tersebut. Jika kita kaitkan dengan adanya kelengkungan ruang-waktu akibat kerapatan yang luar biasa besar, maka dapat terjadi apabila jejari bintang mencapai radius yang dikenal dengan radius Schwarzschild (lihat perumusan matematis di atas). Kondisi seperti ini menyebabkan cahaya pun tidak dapat lepas dari permukaannya. Benda inilah yang di kemudian hari disebut Lubang Hitam. Andai saja Matahari dapat menjadi Lubang Hitam, maka tubuhnya harus diciutkan menjadi kisaran 2 kilometer saja.
Pada awalnya ketika Michell menganalisis dampak gravitasi Newton, maka tercetuslah hasil yang mengindikasikan terbentuknya bintang yang cahayanya tidak sanggup lepas dari gravitasi bintang tersebut. Bintang ini disebut Dark Star atau Bintang Gelap (Newton sudah menganggap cahaya layaknya partikel yang disebut corpuscle, yang disanggah oleh Huygens – cahaya adalah gelombang). Saat lahir teori relativitas umum tentang gravitasi (konsep lengkung ruang-waktu) barulah masalah sifat cahaya dimengerti. Secara ringkas terhadap teori ini bahwa hadirnya medan gaya gravitasi di jagad semesta sebagai akibat melengkungnya ruang-waktu. Namun, Einstein pada era-nya sempat pula membantah ada bintang seperti bintangnya Michell/Laplace.
Prediksi Kehadiran
Bukti bahwa lintasan jalar cahaya terbelokkan akibat adanya gaya gravitasi terjadi saat Gerhana Matahari Total (1919). Juga pembuktian berbasis pergeseran titik perihelion planet Merkurius serta adanya pergeseran merah gravitasi pada pola spektrum. Contoh lain, adanya selisih tibanya sinyal dari wahana Viking serta perhitungan terhadap posisi satelit di orbit Bumi.
Selang beberapa bulan dari perumusan Einstein, Schwarzschild berhasil menyelesaikan satu dari dampak teori tersebut yang melahirkan istilah Magic Circle yang kini dikenal sebagai Radius Schwarzschlid. Disesuaikan istilah ini sesuai namanya sebagai penghargaan kepadanya (r ~ 2GM/c2). Lazim pula disebut Event Horizon yang dianggap radius Lubang Hitam. Layaknya kita melihat ke kedalaman ufuk atau cakrawala yang tentu tidak dapat kita saksikan. Demikian pula di batas cakrawala pada konteks Event Horizon, maka di dalam batas itu tiada seorang pun yang tahu apa yang terjadi. Secara maujud bahwa Event Horizon juga merupakan batas informasi yang dibawa oleh cahaya di mana cahaya yang dipancarkan oleh Lubang Hitam tersebut berakhir dan kembali ke objek itu lagi. Ibarat melempar bola ke atas (anggap bola adalah cahaya), maka suatu saat bola berhenti (anggap radius Event Horizon), kemudian kembali jatuh ke Bumi (anggap Bumi adalah Lubang Hitam-nya).
Dapat dibayangkan materi yang sangat mampat, gravitasinya luar biasa besar sedemikian cahaya pun tidak sanggup untuk melepaskan diri. Kalau cahaya saja tidak dapat lepas, bagaimana dengan materi lain dan bagaimana cara mengetahui adanya Lubang Hitam? Ternyata, benda ini dapat dideteksi dari dampak terhadap sekitarnya.
Pada perkembangan selanjutnya, penelitian benda langit ini semakin intens. Sudah banyak dan beragam teori berhasil dipecahkan dan ternyata dampaknya luar biasa. Lubang Hitam nyatanya bukan sekedar dari hasil ledakan bintang. Benda ini bahkan telah ada sejak awal pembentukan alam semesta (Primordial Black Hole yang ukurannya kecil, 10–13 seukuran proton/neutron) sedemikian diprediksi banyak sekali jumlahnya tersebar di seluruh jagad. Bahkan ada dugaan kuat bahwa di pusat galaksi Bima Sakti sendiri terdapat Lubang Hitam (tipe ini lebih mengarah pada “sesuatu” yang karakternya mirip Lubang Hitam yang dikenal pada dampak supernova) termasuk di pusat galaksi lain. Belum lagi konsekuensi terhadap kehadiran alam semesta sendiri yang diyakini berasal dari satu dentuman besar yang kini teorinya dikenal sebagai Big Bang; yang pada saatnya nanti akan terjadi fenomena sebaliknya – Big Crunch. Memang lebih mudah mendeteksi Lubang Hitam apabila berada dalam sistem bintang ganda dan kebetulan sebagian besar bintang-bintang yang ada adalah sistem bintang ganda atau sistem bintang jamak seperti yang telah dibahas di atas.
Sifatnya
Bagaimana sifat Lubang Hitam? Nama awalnya beragam, antara lain Dark Star, Frozen Star, Collapsed Star, yang akhirnya disebut Black Hole. Masalah hitam dimaklumi sebab tidak ada satu berkas cahaya pun sampai ke pengamat. Namun, istilah lubang, ini berbasis pada pandangan teori geometri dari teori relativitas umum yang meramalkan keberadaannya. Ruang-waktu benda langit ini sedemikian melengkung, jadi seolah berada dalam lubang khayal yang sangat dalam. Sekarang bagaimana kelakuan materi atau cahaya di dalam Lubang Hitam?

Foto ini merupakan gabungan antara bidikan dengan menggunakan panjang gelombang sinar-X (biru, Chandra X-Ray Observatory) dan optic/visual (merah, Hubble Space Telescope).
Credits for X-ray Image: NASA/CXC/ASU/J. Hester et al.
Credits for Optical Image: NASA/HST/ASU/J. Hester et al.
(dari artikel: Supernova)
Pada pusat Lubang Hitam terdapat apa yang disebut sebagai titik singularitas (gravitasi), ujudnya “titik”. Memang sulit membayangkan benda titik. Sebut kursi adalah benda tiga dimensi, papan tripleks (walau ada ukuran ketebalan, kita anggap nol) dapat mewakili benda dengan ukuran panjang kali lebar sebagai benda dua dimensi, adapun tali sebut saja sebagai benda 1 dimensi (walau bentuk sejatinya dapat berupa silinder yang sangat panjang. Namun, “titik” ini kadang tergantikan oleh benda satu dimensi yang memuat jumlah massa luar biasa besar, namun menempati sebuah ruang yang teramat sangat kecil. Hal ini terjadi semisal bukan berupa titik singular, melainkan semisal “cincin” singular. Mungkin kita bayangkan sebuah ban mobil kita perkecil sedemikian hanya berukuran micron saja. Tentu membuat kerapatannya yang bagi kita mungkin berada di luar nalar karena luar biasa besarnya. Tentu dengan massa yang luar biasa besar sekaligus besarnya radius yang teramat sangat kecil akan membuatnya mempunyai tarikan gravitasi yang sangat kuat tidak terbayangkan. Uniknya bahwa kurva ruang-waktu-nya menjadi tidak berhingga kelengkungannya. Semua hukum Fisika tidak lagi dapat diaplikasikan, “titik di mana semua hukum Fisika dapat dinyatakan tidak berlaku”. Lalu perumusan apa yang dapat digunakan? Hukum geometri ruang-waktu-kah?
Berdasarkan penelitian bahwa, apabila terdapat objek yang jatuh ke Lubang Hitam, maka objek ini akan mengalami apa yang disebut sebagai “efek spaghetti” karena perbedaan tarikan gravitasi yang sangat ekstrim antar titik massanya dalam arah radial terhitung dari titik radius nol ke arah luar atau batasnya sebelum kehilangan dimensinya. Seorang pengamat yang menonton dari jarak yang aman di luar, akan memiliki pandangan yang berbeda tentang peristiwa tersebut. Menurut teori relativitas, mereka akan melihat objek bergerak lebih lambat ketika mendekati Lubang Hitam sampai berhenti sepenuhnya di cakrawala peristiwa, tidak pernah benar-benar jatuh ke dalam inti objeknya.
Keberadaan titik singularitas ini dulu sering dianggap sebagai bukti ketidakhandalan teori relativitas umum (lebih dalam konteks tidak berlaku lagi) dan kemungkinan terbesar diduga karena terjadi dalam kondisi di mana efek kuantum harus menjadi satu aspek yang sangat patut dipertimbangkan. Mungkin dapat dibayangkan pada masa mendatang bahwa beberapa teori terkait gravitasi kuantum (“cosmic censorship” hypothesis) seperti penelitian saat ini ke tema “superstring” yang mungkin dapat menggambarkan Lubang Hitam tanpa perlu singularitas, tetapi pemahaman pada teori ini masih membutuhkan waktu terentang hingga bertahun ke depan lagi. “Rasanya” masih jauh dari tuntas.
Menurut hipotesis kuantum tersebut (“sensor kosmik”), singularitas Lubang Hitam tetap tersembunyi di balik cakrawala peristiwa, karena selalu dikelilingi oleh daerah yang tidak memungkinkan cahaya untuk melarikan diri, dan karena itu tidak dapat langsung diamati. Satu-satunya pengecualian, hipotesis yang memungkinkan (dikenal sebagai singularitas “telanjang”) adalah saat terjadinya Big Bang, awal kesemestaan itu sendiri (blackholes singularities).
Semuanya masih terus diteliti. Secara ujud, pada daerah sekitarnya ada yang tidak terpengaruh kelengkungan ruang-waktunya. Makin dekat tentu akhirnya akan tersedot kedalamnya. Seandainya saja kita mendekati daerah event horizon mungkin kita ditarik sedemikian rupa menjadi mirip bakmi. Apabila sudah masuk melewati radius Schwarzschild, maka kita tidak bisa keluar lagi. Apabila kita ke sana mengirim sinyal (di luar event horizon), maka sinyal ke dua ketika kita sudah berada di dalam radius tersebut dalam selang 1 detik kemudian, rekan kita di Bumi sampai kapan pun tidak akan menerima sinyal kita.
Dari uraian di atas telah diketahui bahwa kerapatan Lubang Hitam tentu luar biasa besar. Katakan semisal Matahari dapat menjadi Lubang Hitam, maka kerapatannya ~ 20 milyar ton/cm3. Bagaimana dipusatnya? Tentu tak terbayangkan bila kerapatannya menuju tak hingga, sementara ruangnya sedemikian kecil menuju titik (0-D). Inilah yang biasa dikenal sebagai Titik Singularitas (Penrose, 1965) – virtually no space, sebenarnya tidak ada ruang, Out of existence. Di sini, penulis lebih suka mengatakan: “there is something rather than nothing,” yang kalau kita bandingkan kondisinya mirip dengan kondisi pada cerita wayang Manikmaya (1703) tentang “Creation of the Universe”, yaitu kondisi “awang uwung”.
It seems likely, then, that, by its very nature, we will never be able to fully describe or even understand the singularity at the centre of a black hole. Although an observer can send signals into a black hole, nothing inside the black hole can ever communicate with anything outside it, so its secrets would seem to be safe forever (blackholes singularities).
Ragam teori
Perkembangan penelitian selanjutnya dari obyek eksotik ini bahwa ternyata melahirkan teori keberadaan Lubang Hitam yang bersifat ideal (simetri – statik) seperti Lubang Hitam Schwarzschild, ada pula yang bersifat rotasi-spin yang dikenal sebagai Lubang Hitam Kerr, di mana dari salah satu perhitungannya dapat saja tercipta Cincin Singularitas. Selain itu ada pula yang dikategorikan sebagai Charged Black Holes yang dikembangkan oleh Reissner-Nordstrom. Uniknya, sifat Lubang Hitam ternyata ditentukan hanya oleh 3 parameter yaitu massa, spin (momentum sudut), dan muatan listrik (electric charge). Dalam hal inilah Wheeler mengatakan “Black Holes have no hair”. Bahwa gravitasi seperti demikian “shave the hair – off other property” – tidak bergantung pada bentuk awal, komposisi kimia, apa terbentuk dari materi atau antimateri dan sifat lain selain yang disebutkan di atas. Penrose pada tahun 1965 mencoba melihat singularitas ini lebih dalam lagi. Namun, ada pula yang menganggap titik singularitas tidak mungkin terbentuk.
Namun, Penrose sendiri menyatakan, tidak mungkin tercipta titik singularitas yang telanjang tanpa adanya event horizon. Memang kalau seandainya saja ada, maka hal ini tampak apabila kerapatan tidak berhingga di mana yang terjadi adalah tidak ada lagi hukum Fisika yang berlaku dan semua fenomena adalah mungkin. Dapat dikatakan lepas dari alam semesta kita. Di sana dapat terjadi proses spontan (mekanika kuantum) di mana tidak ada yang dapat meramalkan apa yang terjadi. Kita ingat Lubang Hitam-nya Reissner-Nordstrom, kita dapat terlempar ke jagad lain. Analisis lainnya, dalam kondisi tertentu akan terbentuk Wormhole (Kip Thorne menghitung secara matematis kasus ini yang lalu dijadikan dasar pembuatan novel oleh Carl Sagan berjudul Contact, lalu di-film-kan dengan bintang filmnya Jodie Foster) di mana kita dapat memperpendek waktu tempuh dalam melakukan tamasya di jagad raya. Seandainya dapat menembus titik singularitas, akankah kita memasuki Negative Universe di mana yang bekerja justru antigravity? Mungkinkah di seberang sana malah tercipta White Hole? Atau setelah era singularitas tercapai, dapat saja terlahir jagad baru (recycled). Hawking yang meneliti rumusan matematis Bekenstein-Zeldovich-Starobinsky menyimpulkan (1973) bahwa Lubang Hitam pun memancarkan partikel (Hawking Radiation yang akhirnya melahirkan cabang ilmu Quantum-Gravity, paduan mekanika kuantum dan teori relativitas umum) walaupun pemancaran partikel ini membutuhkan rentang waktu yang sukar dibayangkan. Sebagai contoh, Lubang Hitam bermassa beberapa kali massa Matahari, akan habis setelah 1066 tahun. Namun, makin kecil massa – rentang waktunya makin pendek. Untuk 109 ton (primordial) hanya 15 x 109 tahun – yang mengindikasikan seorde dengan usia alam semesta. Dalam analisis ini, Lubang Hitam pun bisa memancarkan sinar-X dan sinar gamma.


berupa busur cemerlang di seputar benda bermassa besar (masif) seperti galaksi, gugus galaksi, dan lain-lain (tidak selalu berupa busur) yang memiliki tarikan gravitasi yang sangat kuat.
Sebenarnya objek busur tadi adalah benda di balik benda masif tersebut.
Namun, karena cahayanya terbelokkan akhirnya dapat dilihat.
Adapun gugus galaksi dengan jumlah massa yang besar tadi berlaku layaknya sebuah lensa.
Oleh sebab itu fenomena seperti ini disebut Lensa Gravitasi.
Hal sama ketika terjadi Gerhana Matahari Total, kita dapat melihat bintang yang berada di balik Matahari. Fenomena ini merupakan bukti kesahihan Teori Relativitas Umum karya Einstein.
Selain itu juga hadirnya Materi Gelap (Dark Matter).
Gambar kiri: Abell 68; Credit NASA/ESA – Nick Rose.
Gambar kanan: SDSS J1004+4112; Credit: ESA, NASA, K. Sharon (Tel Aviv University) and E. Ofek (Caltech).
Ada anggapan, bila suatu saat mengerut sedemikian temperaturnya mencapai 100 quadrillion (10^17), Lubang Hitam akan meledak. Penelitian terhadap Lubang Hitam kini bukan semata rasa penasaran terhadap objek itu semata, tapi penerapan dan dampak dari teori mengenai keberadaannya. Bukan sekedar penelitian bidang Astrofisika saja, namun saling mengisi antara satu topik keilmuan dengan topik lainnya. Serta juga dari dampak dalam dunia mikrokosmos sampai ke makrokosmos. Terlebih saat ini, kandidat Lubang Hitam yang ditemukan makin banyak. Penemuan galaksi radio Cas-A dan Cyg-A, juga pemancar Sinar-X seperti CygX-1, ScoX-1 dan LMC-X-3.

yang terjadi pada galaksi yang relatif dekat kita,
yaitu Centaurus A yang berjarak kisaran 10 – 16 juta tahun cahaya.
Diameternya kisaran 60.000 tahun cahaya.
Galaksi ini sedang menjauhi kita dengan kecepatan sekitar 550 km/s (redshift)
Merupakan galaksi terdekat yang dipusatnya memiliki Lubang Hitam Supermasif.
Tampak semburan partikel berenergi tinggi pada dwikutubnya
yang memberikan salah satu pemandangan terbaik hingga saat ini
mengenai efek lubang hitam supermasif aktif.
Untuk kasus lain yang juga mirip adalah pada sistem bintang ganda yang salah satu pasangannya adalah Lubang Hitam.
Objek ini tampak pula beberapa pada foto tersebut yang terlihat seperti bintang-bintang.
Pada foto terlihat semburan sinar-X ke arah kiri (putih) menjangkau sekitar 16 ribu tahun cahaya.
Elektron berenergi tinggi yang bergerak spiral mengitari garis medan magnet menghasilkan emisi sinar-X dari pancaran layaknya jet dari arah kedua kutubnya (jet dan counterjet).
Emisi ini dengan cepat menyedot energi dari electron. Mereka harus terus-menerus didaur ulang
atau pancaran sinar-X akan memudar (nyatanya berkelanjutan).
Fenomena ini menunjukkan bahwa akselerasi partikel yang menghasilkan pancaran energi tinggi memang berlangsung di sana dan hal ini memberikan petunjuk penting untuk memahami fenomena percepatan partikel sedemikian geraknya mendekati besarnya kecepatan cahaya.
Pada foto bahwa warna merah berasal dari sinar-X energy rendah, hijau yang menengah,
biru/putih yang paling besar. Red (0.5-1.0); Green (1.0-1.5); Blue (1.5-2.0 keV)
Yang hijau dan biru tua berasal dari materi debu pada galaksi
yang diduga berasal dari fenomena bergabungnya 2 galaksi membentuk Centaurus A
yang terjadi sekitar 100 juta tahun yang lalu.
Ref.: Hardcastle, M. et al., 2007, ApJ, 670, L81
Credit: NASA/CXC/CfA/R.Kraft et al
Selain itu adanya pulsar PSR1913+16, PSR0655+64, dan PSR0820+02 menambah kegairahan penelitian. Juga ada objek yang diduga digerakkan oleh Lubang Hitam yaitu Quasar (quasi-stellar radio sources) 3C48 dan 3C273 yang kecerlangannya 100 kali galaksi – namun, ukurannya hanya 10–6 kali radius Bima Sakti (yang sejenis adalah objek Blazar). Atau penemuan galaksi aktif M87 dan SS433 mengarah kepada indikasi yang sama. Saat ini yang sedang diburu adalah keberadaan gelombang gravitasi (orde 10–18) dengan Laser Interferometer Gravitational-Wave Observatory (LIGO) dan tahun 2010 dibangun Laser Interferometer Space Antenna (LISA). Gelombang gravitasi ini terbukti keberadaannya pada tahun 2015 dengan LIGO oleh Rainer Weiss, Kip Thorne, dan Barry Barish yang menghasilkan hadiah Nobel Fisika pada tahun 2017. Sementara yang terlibat dalam riset mengenai Lubang Hitam yang penuh misteri ini semakin banyak. Mungkin suatu saat pada masa mendatang, salah satunya anda sendiri.
*Sumber artikel terbit di planetarium.jakarta.go.id, sumber data tambahan langitselatan.com, wikipedia, jurnal ilmiah atronomi
Daftar Newsletter Kami
Dapatkan update artikel terbaru langsung di email Anda.